Rabu, 11 November 2009

Sekolah Pertama (1)







Terasa ada jarak yang jauh antara harapan kita dengan realitas pendidikan yang ada.

SDIT (Sekolah Dasar Islam Terpadu) yang dianggap banyak orang sebagai alternatif solusi tidak sanggup menampung anak-anak kita yang grafik pertumbuhannya cukup menakjubkan. SDIT itu sendiri mengeluh kekurangan dana karena sistem pendidikan ideal butuh dana besar, sementara rata-rata orangtua siswa (yaitu kita sendiri) berstatus ekonomi lemah alias sulit membayar harga tinggi. Sebab yang bisa membuat sekolah ideal dengan harga murah hanya pemerintah.

Segera saja terlihat tarik menarik yang kurang sedap antara harapan dan kenyataan. Dan di tengah tarik menarik itu berdirilah makhluk lain yang kita sebut : kemampuan.

Sementara itu, kita juga mendengar keluhan dari ibu rumahtangga, yaitu itri-istri kita, yang merasa tidak mendapat peluang memadai untuk mengembangkan diri, baik secara formal maupun nonformal.

Dua hal yang segera terekam dalam benak kita.

Pertama, pada umumnya kita sangat banyak menggantungkan proses belajar, baik anak-anak maupun istri kita, bahkan kita sendiri, pada institusi pendidikan formal atau melalui proses pembelajaran kolektif. Ini melahirkan kesan, bahwa proses belajar harus selalu kolektif dan selalu menuntut harga mahal karena terselenggara dalam institusi.

Kedua, semangat melahirkan banyak anak yang dianjurkan Rasulullah saw serta semangat mendapatkan pendidikan ideal tidak berjalan seimbang dengan semangat berusaha dan berekonomi. Kecenderungan terhadap solusi pembiayaan pendidikan melalui mekanisme donasi, subsidi silang, atau tuntutan biaya murah, sebenarnya semakin memperkuat asumsi lemahnya semangat berusaha di kalangan kita.

Sebagai sebuah arus sosial, kedua kecenderungan tadi tidak akan membantu menampilkan wajah sosial Islam dengan cara yang mempesona dan menarik untuk diteladani. Saya tentu saja tidak sedang menggugat semangat takaful sebagai suatu piranti sistem sosial Islam. Tapi yang utama ingin saya soroti adalah mentalitas kita dalam proses berislam, bahwa ada ketidakseimbangan antara semangat sosial dengan semangat ekonomi kita; bahwa ada ketidakseimbangan antara pengkondisian yang mendorong kita cepat menikah dan memiliki banyak anak serta obsesi pendidikan ideal untuk melahirkan Generasi Rabbani, dengan tarbiyah iqtishadiyah (ekonomi) yang kita peroleh.

Adanya donatur dan subsidi silang sebagai bentuk takaful tentu saja baik, keterampilan entrepreneurship tentu juga jauh lebih baik daripada keterampilan mencari donatur. Nikah cepat dan punya anak banyak jelas-jelas merupakan sunnah Rasulullah saw, tapi membuat kemampuan-kemampuan kita setara dengan tingkat tanggungjawab kita adalah sunnah yang jauh lebih penting. Bukankah berislam seperti yang kita peragakan dan secara perlahan membentuk wajah sosial kita, dengan cara begini, membuat Islam tampak terpenggal-penggal dan sama sekali tidak menarik ?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar