Melihat Qia (6 tahun) dan Bagas
(4 tahun) menirukan gaya merokok, ada rasa kuatir di dada. Kaget juga sih, pertama kali melihat Bagas
mengatakan, “Bunda, lihat Bagas merokok.” , sambil menjepit lintingan kertas
dengan jari telunjuk dan jari tengahnya yang pura-pura jadi rokoknya. Hal ini
sering Bagas lakukan, kemudian diikuti Qia tapi lebih sering dilakukan Bagas. Kadang
jika sedang bermain berdua, mereka berpura-pura sedang merokok, ngobrol dan
tertawa-tawa. Lintingan kertas jadi rokoknya dan barang kecil berbentuk kotak
jadi koreknya. Terkadang aku memarahi
mereka. Menurutku itu perbuatan yang tidak patut dilakukan. Dan aku takut,
mereka berpikir merokok adalah perbuatan yang baik-baik saja dilakukan. Aku
tidak mau mereka jadi perokok. Tapi dasar anak-anak, berkali-kali aku ingatkan
tetap saja mereka lakukan itu sesekali.
Aku sadar, mereka berdua
melakukan permainan berpura-pura merokok karena melihat lingkungan yang
beberapa orang adalah perokok. Alhamdulillah, aku dan suami bukan perokok. Anak-anak tahu apa, mereka hanya meniru. Kalau
ada kesempatan, aku jelasin kepada mereka bahwa merokok adalah perbuatan yang
sangat buruk dan tidak baik ditiru. Merokok adalah perbuatan yang menyakiti
diri sendiri, karena merokok membuat orang yang merokok itu jadi sakit. Kadang
bingung juga sih, kalau Qia bertanya kenapa salah seorang keluarga kami
merokok, apakah mereka yang merokok sudah tahu kalau merokok itu perbuatan
buruk. Aku jawab saja, mereka sudah tahu merokok itu perbuatan buruk. Dan Qia
terus saja bertanya, “Kalau sudah tahu, kenapa terus merokok?” Lalu aku jawab,
“Karena merokok bagi mereka sudah seperti kebutuhan. Jadi candu.” Kata Qia,
“Candu itu apa, Bunda?” Uahhh!!!
Setelah beberapa kali melihat
keseharian mereka begitu, tiba-tiba aku teringat sebuah kejadian yang sangat
lama. Kejadian yang aku yakin hanya aku dan Allah saja yang tahu. Yang dengan
tulisan ini akan aku buka. Begini, dulu saat sekitar aku kelas 1 SD (umurku
sekitar 7 tahun), setiap pulang sekolah aku selalu menyusul ke komplek kantor
tempat orang tuaku bekerja. Sekolahku dekat dengan rumah, tapi kantor tempat
orang tuaku bekerja agak jauh. Sekitar 1 km kurang. Saat itu orang tuaku yang
sekantor itu pergi bekerja dengan berjalan kaki bersama dengan adikku yang saat
itu duduk di bangku TK. Jadi TK adikku itu jauh. Nah tinggallah aku di sekolah
di sekolah dari pukul 07.00 – 10.00 dengan dibekali kunci rumah. Karena ibuku
tidak punya asisten rumah tangga, jadi saat aku pulang ke rumah tidak ada orang
sama sekali. Adikku yang masih TK begitu pulang langsung dibawa kembali ke
komplek orang tuaku bekerja. Orang tuaku bekerja dari pukul 07.00 – 14.00.
Begitu pulang, aku buka rumah dengan kunci yang kubawa, ganti baju, kunci pintu
rumah, dan langsung menyusul kedua orang tuaku ke komplek kantor tempat orang
tuaku bekerja. Kadang aku pergi berjalan sendiri atau kadang aku berjalan
bersama teman-teman yang merupakan anak-anak rekan kerja orang tuaku. Teman-temanku
itu tinggal di komplek kantor orang tuaku bekerja, dan mereka bersekolah di
sekolah yang sama denganku. Di sana aku berkeliaran di komplek tersebut dari
sekitar pukul 10.30 – 14.00.
Setiba di komplek, aku langsung
menuju ruangan Bapakku. Untuk setor muka bahwa aku telah datang dan tentu saja
menyerahkan kunci rumah. Gedung kantor orang tuaku berlantai satu dan berbentuk
huruf “U”. Bangunannya cukup sederhana, dengan tiap ruangan langsung menghadap
lapangan untuk upacara. Jadi aku dapat dengan bebas keluar masuk ruangan
Bapakku karena disamping pintu masuk yang langsung keluar ruangan, Bapakku juga
menempati ruangan itu sendirian. Berbeda dengan Ibuku yang menempati ruangan
bersama beberapa orang yang lain yang cukup banyak. Kadang aku masuk ke ruangan
Bapakku saat beliau sedang sendirian, atau kadang Bapakku sedang bersama
rekannya, atau kadang saat beliau sedang tidak ada dan ada di ruangan lain. Aku
sering minum di gelas Bapakku saat beliau sedang ada di ruangan lain. Utuh
maupun tidak utuh aku habiskan, hahaha!
Kalau aku bosan bermain dengan
teman-temanku selama menunggu, aku akan berlari mencari orang tuaku. Tentu saja
yang pertama kali kucari adalah Bapakku. Kalau aku sedang beruntung, Bapak sudah
sedikit bebas dengan tugasnya, aku bisa ngobrol dengan Bapak tentang
keseharianku sambil mengamati ruangan Bapak yang bagiku saat itu seperti ruang
laboratorium (tentu saja sambil memegang dan bertanya-tanya tentang alat-alat
itu:D). Kalau Bapak tidak ada, aku berlari ke ruangan Ibu. Jika keduanya tidak
ada di ruangan masing-masing, maka aku akan menunggu di luar ruangan di suatu
tempat. Sambil mengamati rekan-rekan orang tuaku yang hilir mudik bekerja atau
menghabiskan waktu kerja menunggu pukul 14.00. Hal ini sering aku lakukan. Dan
yang tidak luput aku perhatikan adalah kebiasaan para rekan kerja orang tuaku,
yaitu merokok. Memang yang merokok saat itu kebanyakan adalah para bapak. Alhamdulillah
Bapak bukan seorang perokok, walaupun sempat merokok juga, tapi bisa berhenti
total.
Banyak rekan
kerja orang tuaku yang merokok. Bekerja sambil merokok, mengetik sambil
merokok, keluar ruangan sambil membawa kertas pun sambil merokok, ngobrol
merokok, di kantin pun merokok. Pendek kata segala hal yang sedang mereka
kerjakan, rokok tidak lepas dari jari tangan mereka. Sampai-sampai saat itu aku
berpikir, kayaknya merokok itu enak, ya. Ya, karena sering menjumpai orang
merokok. Sampai-sampai aku ingin mencoba nikmatnya rokok. Nah-nah-nah!
Suatu waktu aku
sedang menunggu di luar ruangan depan pintu ruangan Bapak. Seorang rekan kerja
orang tua keluar dari pintu sebuah ruangan yang lain, dan membuang puntung
rokok sembarangan ke halaman. Aku memperhatikan. Lalu aku hampiri puntung rokok
itu. Puntung rokok itu masih berasap. Aku perhatikan sekeliling. Tiba-tiba
aku ingin mencoba puntung rokok itu! Memang aku sering mengambil sampah puntung
rokok, tapi benar saat itu aku tak berniat merokok. Tapi melihat puntung rokok
berasap itu, aku jadi ingin mencobanya. Aku lihat kanan kiri, kulihat beberapa
orang mondar-mandir di sekitarku. Aku tak mungkin mengambil puntung rokok
berasap itu. Karena mereka pasti akan menegurku. Maka lebih baik aku urungkan
niat itu sekarang. Lebih baik aku lakukan besok pagi saja sambil memikirkan
tempat dimana aku akan melakukannya!
Esok paginya,
setelah aku mendapatkan tempat yang tersembunyi dari lalu lalang orang maka aku
duduk di depan ruangan kantor Bapak. Aku menunggu sampai ada seseorang yang
membuang puntung rokok sembarangan. Tiap saat ada saja yang membuang puntung
rokok yang masih berasap. Hingga tibalah saatnya. Ada seseorang yang membuang
puntung rokok berasap, aku melihat sekitar. Tak ada orang, secepat kilat aku
memungut puntung rokok itu dan langsung kusembunyikan dengan dua tangan, dan
menuju ke tempat yang sudah kutentukan. Di tempat sepi itu aku lalu menjepit
puntung rokok berasap dengan kedua jari telunjuk dan tengah dan kutujukan ke
mulutku! Mulailah kuhisap rokok itu. Apa yang terjadi? Begitu asap mulai masuk
ke mulutku, lalu langsung ke paru-paruku, aku terbatuk-batuk hebat. Aku lempar
puntung rokok itu. Rasa tembakau yang menurutku saat itu adalah pedas begitu
langsung memenuhi rongga tenggorokan dan paru-paruku. Aku betul-betul merasa
tak enak akan keadaanku. Aku terbatuk-batuk selama beberapa saat untuk
menghilangkan rasa-rasa tembakau yang menurutku sangat tidak sedap.
Setelah keadaanku
agak membaik, lalu aku berjalan masuk ke ruangan kerja Bapak. Aku ambil gelas
minum milik Bapak yang ada sisa setengah gelas air dan meminumnya sampai habis.
Aku tak mengatakan apa-apa kepada siapa pun. Karena kalau kukatakan, aku
berpikir waktu itu pasti aku akan dimarahi. Rasa keingintahuanku terpenuhi
sudah, bahwa rokok itu sungguh sangat tidak enak. Aku heran, kenapa para bapak-bapak
itu gemar merokok. Apakah karena aku masih kecil, jadi menghisap rokok itu
tidak bisa kunikmati. Entahlah.
Sampai sekarang
aku masih ingat merk rokok yang aku hisap itu. Bungkus rokok itu berwarna merah
menyala:D (pasti semua dah pada tahu dehJ).
Alhamdulillah, percobaanku tak membuat aku ingin mencoba lagi, dan lagi, dan
lagi. Sekali saja sudah membuatku kapok. Sekarang aku juga bukan perokok dan tak
suka dengan para perokok. Makannya, aku heran kenapa ada balita yang gemar
merokok. Heran sekali. Kok bisa-bisanya mereka merokok? Bagaimana awalnya? Bukankah
jika merokok pertama kali pasti mereka terbatuk-batuk hebat dengan mulut
kecilnya? Padahal dulu saat aku mencoba menghisap rokok, itu sekaligus menjadi
yang terakhir. Kalau sekarang kusimpulkan, karena balita itu sering melihat
orang terdekat mereka begitu menikmati rokok. Maka tak heran, walaupun saat
pertama kali balita itu terbatuk-batuk (saat mencoba rokok), mereka akan terus
mencoba sampai terbiasa seperti orang terdekat mereka.
Aku belum pernah
menceritakan kejadian ini kepada orang tuaku. Tapi kalau kuceritakan, aku belum
tahu apa tanggapan orang tuaku sekarangJ.
Sekarang aku kan sudah jadi orang tua dengan anak paling tua usia 6 tahun,
setahun lebih muda daripada aku dulu. Tentu saja orang tuaku yang sudah menjadi
kakek dan nenek itu tak akan memarahiku. Dan aku tak berniat untuk menceritakan
kejadian ini kepada anak-anakku. Kuatir akan mereka tiru. (Wiwik Hidayati)