Jumat, 14 September 2012

Rahasia Kecilku




Melihat Qia (6 tahun) dan Bagas (4 tahun) menirukan gaya merokok, ada rasa kuatir di dada.  Kaget juga sih, pertama kali melihat Bagas mengatakan, “Bunda, lihat Bagas merokok.” , sambil menjepit lintingan kertas dengan jari telunjuk dan jari tengahnya yang pura-pura jadi rokoknya. Hal ini sering Bagas lakukan, kemudian diikuti Qia tapi lebih sering dilakukan Bagas. Kadang jika sedang bermain berdua, mereka berpura-pura sedang merokok, ngobrol dan tertawa-tawa. Lintingan kertas jadi rokoknya dan barang kecil berbentuk kotak jadi koreknya.  Terkadang aku memarahi mereka. Menurutku itu perbuatan yang tidak patut dilakukan. Dan aku takut, mereka berpikir merokok adalah perbuatan yang baik-baik saja dilakukan. Aku tidak mau mereka jadi perokok. Tapi dasar anak-anak, berkali-kali aku ingatkan tetap saja mereka lakukan itu sesekali. 

Aku sadar, mereka berdua melakukan permainan berpura-pura merokok karena melihat lingkungan yang beberapa orang adalah perokok. Alhamdulillah, aku dan suami bukan perokok.  Anak-anak tahu apa, mereka hanya meniru. Kalau ada kesempatan, aku jelasin kepada mereka bahwa merokok adalah perbuatan yang sangat buruk dan tidak baik ditiru. Merokok adalah perbuatan yang menyakiti diri sendiri, karena merokok membuat orang yang merokok itu jadi sakit. Kadang bingung juga sih, kalau Qia bertanya kenapa salah seorang keluarga kami merokok, apakah mereka yang merokok sudah tahu kalau merokok itu perbuatan buruk. Aku jawab saja, mereka sudah tahu merokok itu perbuatan buruk. Dan Qia terus saja bertanya, “Kalau sudah tahu, kenapa terus merokok?” Lalu aku jawab, “Karena merokok bagi mereka sudah seperti kebutuhan. Jadi candu.” Kata Qia, “Candu itu apa, Bunda?”  Uahhh!!!

Setelah beberapa kali melihat keseharian mereka begitu, tiba-tiba aku teringat sebuah kejadian yang sangat lama. Kejadian yang aku yakin hanya aku dan Allah saja yang tahu. Yang dengan tulisan ini akan aku buka. Begini, dulu saat sekitar aku kelas 1 SD (umurku sekitar 7 tahun), setiap pulang sekolah aku selalu menyusul ke komplek kantor tempat orang tuaku bekerja. Sekolahku dekat dengan rumah, tapi kantor tempat orang tuaku bekerja agak jauh. Sekitar 1 km kurang. Saat itu orang tuaku yang sekantor itu pergi bekerja dengan berjalan kaki bersama dengan adikku yang saat itu duduk di bangku TK. Jadi TK adikku itu jauh. Nah tinggallah aku di sekolah di sekolah dari pukul 07.00 – 10.00 dengan dibekali kunci rumah. Karena ibuku tidak punya asisten rumah tangga, jadi saat aku pulang ke rumah tidak ada orang sama sekali. Adikku yang masih TK begitu pulang langsung dibawa kembali ke komplek orang tuaku bekerja. Orang tuaku bekerja dari pukul 07.00 – 14.00. Begitu pulang, aku buka rumah dengan kunci yang kubawa, ganti baju, kunci pintu rumah, dan langsung menyusul kedua orang tuaku ke komplek kantor tempat orang tuaku bekerja. Kadang aku pergi berjalan sendiri atau kadang aku berjalan bersama teman-teman yang merupakan anak-anak rekan kerja orang tuaku. Teman-temanku itu tinggal di komplek kantor orang tuaku bekerja, dan mereka bersekolah di sekolah yang sama denganku. Di sana aku berkeliaran di komplek tersebut dari sekitar pukul 10.30 – 14.00.

Setiba di komplek, aku langsung menuju ruangan Bapakku. Untuk setor muka bahwa aku telah datang dan tentu saja menyerahkan kunci rumah. Gedung kantor orang tuaku berlantai satu dan berbentuk huruf “U”. Bangunannya cukup sederhana, dengan tiap ruangan langsung menghadap lapangan untuk upacara. Jadi aku dapat dengan bebas keluar masuk ruangan Bapakku karena disamping pintu masuk yang langsung keluar ruangan, Bapakku juga menempati ruangan itu sendirian. Berbeda dengan Ibuku yang menempati ruangan bersama beberapa orang yang lain yang cukup banyak. Kadang aku masuk ke ruangan Bapakku saat beliau sedang sendirian, atau kadang Bapakku sedang bersama rekannya, atau kadang saat beliau sedang tidak ada dan ada di ruangan lain. Aku sering minum di gelas Bapakku saat beliau sedang ada di ruangan lain. Utuh maupun tidak utuh aku habiskan, hahaha! 

Kalau aku bosan bermain dengan teman-temanku selama menunggu, aku akan berlari mencari orang tuaku. Tentu saja yang pertama kali kucari adalah Bapakku. Kalau aku sedang beruntung, Bapak sudah sedikit bebas dengan tugasnya, aku bisa ngobrol dengan Bapak tentang keseharianku sambil mengamati ruangan Bapak yang bagiku saat itu seperti ruang laboratorium (tentu saja sambil memegang dan bertanya-tanya tentang alat-alat itu:D). Kalau Bapak tidak ada, aku berlari ke ruangan Ibu. Jika keduanya tidak ada di ruangan masing-masing, maka aku akan menunggu di luar ruangan di suatu tempat. Sambil mengamati rekan-rekan orang tuaku yang hilir mudik bekerja atau menghabiskan waktu kerja menunggu pukul 14.00. Hal ini sering aku lakukan. Dan yang tidak luput aku perhatikan adalah kebiasaan para rekan kerja orang tuaku, yaitu merokok. Memang yang merokok saat itu kebanyakan adalah para bapak. Alhamdulillah Bapak bukan seorang perokok, walaupun sempat merokok juga, tapi bisa berhenti total.
 
Banyak rekan kerja orang tuaku yang merokok. Bekerja sambil merokok, mengetik sambil merokok, keluar ruangan sambil membawa kertas pun sambil merokok, ngobrol merokok, di kantin pun merokok. Pendek kata segala hal yang sedang mereka kerjakan, rokok tidak lepas dari jari tangan mereka. Sampai-sampai saat itu aku berpikir, kayaknya merokok itu enak, ya. Ya, karena sering menjumpai orang merokok. Sampai-sampai aku ingin mencoba nikmatnya rokok. Nah-nah-nah!

Suatu waktu aku sedang menunggu di luar ruangan depan pintu ruangan Bapak. Seorang rekan kerja orang tua keluar dari pintu sebuah ruangan yang lain, dan membuang puntung rokok sembarangan ke halaman. Aku memperhatikan. Lalu aku hampiri puntung rokok itu. Puntung rokok itu masih berasap. Aku perhatikan sekeliling. Tiba-tiba aku ingin mencoba puntung rokok itu! Memang aku sering mengambil sampah puntung rokok, tapi benar saat itu aku tak berniat merokok. Tapi melihat puntung rokok berasap itu, aku jadi ingin mencobanya. Aku lihat kanan kiri, kulihat beberapa orang mondar-mandir di sekitarku. Aku tak mungkin mengambil puntung rokok berasap itu. Karena mereka pasti akan menegurku. Maka lebih baik aku urungkan niat itu sekarang. Lebih baik aku lakukan besok pagi saja sambil memikirkan tempat dimana aku akan melakukannya!

Esok paginya, setelah aku mendapatkan tempat yang tersembunyi dari lalu lalang orang maka aku duduk di depan ruangan kantor Bapak. Aku menunggu sampai ada seseorang yang membuang puntung rokok sembarangan. Tiap saat ada saja yang membuang puntung rokok yang masih berasap. Hingga tibalah saatnya. Ada seseorang yang membuang puntung rokok berasap, aku melihat sekitar. Tak ada orang, secepat kilat aku memungut puntung rokok itu dan langsung kusembunyikan dengan dua tangan, dan menuju ke tempat yang sudah kutentukan. Di tempat sepi itu aku lalu menjepit puntung rokok berasap dengan kedua jari telunjuk dan tengah dan kutujukan ke mulutku! Mulailah kuhisap rokok itu. Apa yang terjadi? Begitu asap mulai masuk ke mulutku, lalu langsung ke paru-paruku, aku terbatuk-batuk hebat. Aku lempar puntung rokok itu. Rasa tembakau yang menurutku saat itu adalah pedas begitu langsung memenuhi rongga tenggorokan dan paru-paruku. Aku betul-betul merasa tak enak akan keadaanku. Aku terbatuk-batuk selama beberapa saat untuk menghilangkan rasa-rasa tembakau yang menurutku sangat tidak sedap. 

Setelah keadaanku agak membaik, lalu aku berjalan masuk ke ruangan kerja Bapak. Aku ambil gelas minum milik Bapak yang ada sisa setengah gelas air dan meminumnya sampai habis. Aku tak mengatakan apa-apa kepada siapa pun. Karena kalau kukatakan, aku berpikir waktu itu pasti aku akan dimarahi. Rasa keingintahuanku terpenuhi sudah, bahwa rokok itu sungguh sangat tidak enak. Aku heran, kenapa para bapak-bapak itu gemar merokok. Apakah karena aku masih kecil, jadi menghisap rokok itu tidak bisa kunikmati. Entahlah. 

Sampai sekarang aku masih ingat merk rokok yang aku hisap itu. Bungkus rokok itu berwarna merah menyala:D (pasti semua dah pada tahu dehJ). Alhamdulillah, percobaanku tak membuat aku ingin mencoba lagi, dan lagi, dan lagi. Sekali saja sudah membuatku kapok. Sekarang aku juga bukan perokok dan tak suka dengan para perokok. Makannya, aku heran kenapa ada balita yang gemar merokok. Heran sekali. Kok bisa-bisanya mereka merokok? Bagaimana awalnya? Bukankah jika merokok pertama kali pasti mereka terbatuk-batuk hebat dengan mulut kecilnya? Padahal dulu saat aku mencoba menghisap rokok, itu sekaligus menjadi yang terakhir. Kalau sekarang kusimpulkan, karena balita itu sering melihat orang terdekat mereka begitu menikmati rokok. Maka tak heran, walaupun saat pertama kali balita itu terbatuk-batuk (saat mencoba rokok), mereka akan terus mencoba sampai terbiasa seperti orang terdekat mereka.

Aku belum pernah menceritakan kejadian ini kepada orang tuaku. Tapi kalau kuceritakan, aku belum tahu apa tanggapan orang tuaku sekarangJ. Sekarang aku kan sudah jadi orang tua dengan anak paling tua usia 6 tahun, setahun lebih muda daripada aku dulu. Tentu saja orang tuaku yang sudah menjadi kakek dan nenek itu tak akan memarahiku. Dan aku tak berniat untuk menceritakan kejadian ini kepada anak-anakku. Kuatir akan mereka tiru. (Wiwik Hidayati)

Kamis, 06 September 2012

Mudik Malam...



Dalam perjalanan mudik ke Tegal dari Bandung pada hari Selasa malam tanggal 21 Agustus 2012 kemarin, ada sesuatu teringat. Kejadian yang sudah lamaaa sekali. Mungkin saat itu aku belum sekolah. Belum masuk TK malah. Bagi orang lain, atau aku sendiri sebelum mudik terakhir mungkin terasa biasa aja. Tapi setelah mudik kali ini, menjadi sesuatu yang sangat berkesan.

Oya, sebelumnya kami pergi dari Ciparay Kabupaten Bandung, melewati Majalaya, Rancaekek, kemudian langsung tembus ke Cileunyi. Tak lama kemudian kami sampai ke Jatinangor Sumedang. Keluar dari Jatinangor, tiba di jalan yang berbelok dan mendaki mobil terhenti sekitar setengah jam. Sistem buka tutup diberlakukan entah karena apa. Setelah melewati sistem buka tutup, mungkin di sekitar Tanjung Sari mobil pun melaju tanpa halangan.

Melewati Cadas Pangeran yang melegenda, jalan yang berbelok dengan bukit di sisi kiri dan jurang di sisi kanan membuatku betul-betul merasa kembali. Jalan inilah yang dulu sering kulewati ketika masa-masa aku kuliah antara Bandung-Tegal. Kemudian mobil melewati jalan raya yang lebarnya sedang dan berbelok dengan di sisi kanan kiri rumah penduduk. Cukup panjang juga jalan ini. Sebelum memasuki kota Majalengka, masih di Sumedang  mobil melewati hutan yang cukup panjang. Tidak cukup lebat tapi banyak pepohonan. Jalanan gelap dan sepi sehingga mobil bisa melaju tanpa halangan berarti.

Dalam keremangan malam, ketika semua penumpang dalam mobil tertidur, kecuali supir pasti, aku memperhatikan jalanan. Tiba-tiba aku melihat, kenapa jarang aku lihat bus? Kebanyakan para pemudik malam ini menggunakan mobil pribadi. Pikiranku mulai melayang. Jauhhhh. Saat aku kecil kebanyakan para pemudik menggunakan bus, bukan mobil pribadi.

Saat kecil dulu aku juga mudik dari Tegal ke Sukabumi naik bus. Memilih malam daripada siang yang panas. Saat kecil dulu, malam-malam begini dalam bus aku juga tidak tidur. Tapi aku terbangun memperhatikan jalan, seperti saat ini. Saat itu, Ibu, Bapak, adikku tidur, sedangkan aku duduk di dekat jendela. Jadi saat itu aku dapat dengan bebas memperhatikan malam. Memperhatikan jalan-jalan yang kulewati saat ini yang sudah jauh berubah. Saat itu tentu saja jauh lebih sepi dan gelap. Dalam pikiranku yang saat itu masih kecil, suasana saat itu begitu mencekam dan mengerikan, dan untung saat itu aku dalam mobil bus yang hangat dan nyaman yang terus melaju.

Dalam pikiran masa lalu tersebut, tiba-tiba aku teringat sebuah kejadian. Kejadian yang menurutku luar biasa setelah aku mudik malam ini. Saat itu saat aku kecil entah saat itu aku sudah TK atau belum, aku lupa. Aku mudik bersama keluargaku dari Tegal menuju Sukabumi. Kampung halaman Bapakku. Ortu memilih perjalanan malam. Saat itu adalah saat-saat akhir Ramadhan. Aku tertidur selama dalam perjalanan.

Sampai di daerah Jawa Barat entah dimana, aku terbangun. Aku mendapati bus kami berhenti. Dan aku melihat Bapakku sedang makan nasi bungkus. Aku bingung, kok Bapak makan? Ketika kutanyakan, beliau menjawab sedang makan sahur. Aku melihat ke sekeliling. Penumpang yang lain juga sedang berkasak-kusuk sedang makan sahur. Semua penumpang berjaket, termasuk supir dan kondekturnya untuk menahan dingin. Melihat begitu nikmatnya Bapak makan, aku jadi ikut makan sahur dalam bus saat itu. Setelah beberapa lama, ada ribut-ribut di antara penumpang. Usut punya usut, ternyata supir busnya muntah-muntah. Supir busnya masuk angin. Waduh, waktu itu aku kepikiran gak bakalan sampai ke Sukabumi dehh..

Kami semua menunggu perkembangan. Semua penumpang duduk di kursinya masing-masing. Saat itu bus kami berhenti bukan di depan warung makan seperti bus-bus malam saat ini. Aku ingat betul, bus yang kami tumpangi adalah bus ekonomi biasa. Bukan bus kelas eksekutif. Keadaan di luar bus ramai tapi tidak terlalu ramai. Mungkin di luar banyak teman-teman dari supir dan kondektur bus yang kami tumpangi.  Tapi seingatku, kalau dibandingkan dengan sekarang cukup sepi. Aku perhatikan semua penumpang memakan bekal sahurnya yang dibawa dari rumah. Saat itu aku juga berhusnudzon (maklum masih kecil, dan semoga betul) bahwa semua penumpang termasuk kondektur dan supir bus yang kami tumpangi bersantap sahur. Masuk angin tidak menghalangi sang supir bus untuk tidak berpuasa. Dan karena seijin Allah-lah, entah lewat sang supir bus yang sedang sakit, atau memang supir memberi kesempatan kepada kami untuk bersantap sahur, bus berhenti. Setelah semua penumpang selesai bersantap sahur dan supir bus kami keadaannya membaik, Alhamdulillah kami dapat melanjutkan perjalanan. Aku dan keluargaku sampai ke Sukabumi dengan selamat.

Nah, menurutku kejadian itu sungguh begitu syahdu. Semua penumpang dengan penuh kesadarannya masing-masing menunaikan ibadah puasa Ramadhan. Semuanya terjadi dengan baik dengan sendirinya. Suasana Ramadhan sungguh sangat terasa dalam bus saat itu. Tanpa perlu diorganisir. Mungkin bus-bus malam sekarang akan berhenti di depan warung makan untuk memberi kesempatan para penumpangnya bersantap sahur. Tapi kita semua tidak akan tahu apakah semua penumpang memang perlu bersantap sahur atau tidak. Begitu juga supir dan kondektur.

Memang jaman aku kecil, mudik lebaran tidak seramai sekarang. Sekarang begitu ramai, sangat ramai. Para pemudik berbondong-bondong pulang kampung tanpa mempedulikan puasa mereka. Yang diperhatikan malah hal-hal lain. Misalnya bagi para pemudik bermotor, mereka menggunakan jaket yang sama. Atau mudik bareng teman-teman sekantor, seprofesi, dan lain-lain. Selama dalam perjalanan mereka saling berkomunikasi. Bergumul dalam hiruk pikuk kemacetan dan keramaian jalan raya.

Hilang sudah suasana Ramadhan selama mudik. Para pemudik dengan seenaknya makan, minum, merokok sembarangan. Tak jarang selama berkendara, para pemudik tak mengindahkan rambu-rambu. Menyerobot pun terasa biasa saja, L. Itulah sebabnya aku lebih memilih mudik setelah lebaran tahun ini, agar tak kehilangan suasana Ramadhan yang hanya setahun sekali.

Ketika mobil kami masuk Majalengka dan kami mulai menjumpai sekelompok pemudik bermotor berseragam, aku jadi berpikir. Lebih enak dulu, atau sekarang. Lebih baik dulu atau sekarang. Dulu mudik terjadi dengan baik karena kesadaran para pemudik sendiri. Pemerintah tidak terlalu repot jika menjelang masa mudik. Para pemudik lebih banyak menggunakan angkutan umum seperti bus atau kereta api.

Kalau sekarang, menjelang masa mudik, Pemerintah sibuk menyiapkan ini dan itu. Seperti infrastruktur jalan, posko kesehatan, tempat istirahat untuk kenyamanan para pemudik. Pendek kata, mudik jaman sekarang lebih terorganisir tapi kesadaran pemudik lebih rendah daripada dulu. Jadi kalau disuruh memilih, lebih baik mudik saat aku kecil atau sekarang, ya lebih baik mudik dengan kesadaran yang tinggi  pemudik dan dengan fasilitas seperti sekarang. (Wiwik Hidayati)