Senin, 24 Agustus 2015

Menyusuri Lorong Waktu


Perjalanan mudik tahun 2015 ini bagi saya terasa sangat istimewa. Ada sesuatu yang sangat berbeda saya rasakan. Memang ini seperti rutinitas tahunan hari raya Idul Fitri saat keluarga kecil saya berkunjung ke rumah orang tua saya di Tegal sana.  Seperti menyusuri lorong waktu masa lalu tapi tak pernah sampai  tujuan. Menjadi anak-anak kemudian menjadi dewasa menjadi anak-anak lagi, dan menjadi dewasa lagi begitu seterusnya. Saya tak melihat orang lain. Saya melihat diri saya sendiri sebagai tokoh utamanya. Biasanya ini tak pernah terjadi.  Atau mungkin ini terjadi karena dua anak saya memasuki usia SD kelas 4 dan kelas 1. Yang saat usia itu saya sedang asyik-asyiknya bermain dengan teman-teman. Atau mungkin lagi karena beberapa tahun lagi saya akan memasuki usia 40 tahun? Entahlah saya tak tahu pastinya.

Pernah menyaksikan film  dengan adegan seseorang yang sudah dewasa atau tua tiba-tiba memasuki lorong waktu yang buram dan sampai pada suatu masa dia masih anak-anak atau muda? Atau pernahkah Anda menyaksikan film Titanic yang mengetengahkan adegan seorang tokoh bernama Rose DeWitt Bukater yang sudah tua memegang cermin yang baru ditemukan dari dalam samudra? Saat itu Rose berharap melihat wajahnya yang cantik jelita, muda, segar yang terpantul dari dalam cermin (karena itu memang cerminnya yang biasa digunakan saat ia masih muda). Tapi saat dia melihat ke dalam cermin, yang terpantul adalah wajahnya yang sudah sangat tua dan keriput. Dan dia merasa silau dengan kenyataan yang ada. Nah inilah yang saya rasakan.

Saat saya masuk ke kamar saya yang sekarang kamar itu sudah ditempati oleh keponakan saya, saya terdiam duduk sejenak. Ah, ya...kamar inilah yang ikut memberikan andil dalam hidup saya. Tempat istirahat saya saat saya lelah belajar dan bermain. Tempat istirahat saya dari anak-anak hingga lulus SMA. Tempat menyimpan rahasia-rahasia kecil saya. Sesaat saya melihat adegan masa lalu pada suatu pagi Minggu di tahun 1991. Bapak masuk ke dalam kamar dan mendapati saya sedang belajar di balik pintu kamar. Menengok apa yang saya sedang saya lakukan dan menawarkan jajanan pasar yang baru dibeli di pasar. Saya ingat sekali saat itu adalah minggu ujian akhir semester pertama SMP dan saat itu saya duduk di kelas 7. Besok seninnya adalah hari pertama ujian saya. Agaknya saya terlena dan membiarkan masa lalu membawa saya. Saya membaringkan badan saya. Dan terbangun mendapati diri saya yang sekarang. Ada rasa sedih sekilas datang.

Di ruang tengah ada meja makan dan TV. Tata letaknya masih persis sama sejak 30 tahun yang lalu! Di tahun 1985 saat kami pindah ke rumah ini. Saat saya duduk di meja makan sambil menonton TV, sambil melihat anak saya dan keponakan saya bermain, saya melihat lagi. Ya, inilah kursi yang menopang tubuh kecil saya.  Saya masih bisa merasakan kaki saya belum menjejak ke lantai. Sambil disisir rambut saya oleh Ibu atau Bapak, saya sarapan sebelum pergi sekolah. Saat itu saya duduk di SD kelas 1 sampai 4. Duduk di meja makan sambil memandang ke luar jendela, memandang kebun bambu dan kebun singkong yang luas terhampar. Saya hampiri lemari bufet. Saya buka lacinya. Masih tersimpan baik kaset-kaset pita. Kaset yang sering saya putar dulu saat masih SD. Dari kaset sanggar cerita, kaset lagu-lagu, bahkan kaset Bapak dan Ibu saya saat seusia saya sekarang. Membuka kaset ini seperti melihat tangan kecil saya lincah membuka, menutup, melipat kertas kaset. Di ruang ini saya menemukan radio saya juga lho. Radio yang menemani saya belajar saat duduk di kelas 4,5 SD. Saat itu saya mengikuti sandiwara radio Nini Pelet.

Setiap tahun saya selalu menyempatkan diri silaturahim dengan tetangga saya. Teman masa kecil saya. Melihat mereka sama juga keadaannya seperti saya. Tidak ada yang menduga, bahwa kami bisa sampai hingga saat ini. Memang ada beberapa teman kecil saya meninggal karena sakit. Mereka tidak sampai hingga saat ini. Asyik sekali saat itu kami bermain. Berlari, bermain petak umpet, bermain sondakh, lompat tali, sesekali nonton TV bareng (karena saat itu kesempatan nonton kartun hanya sore hari). Ketika bertemu teman-teman kecil inilah, hilang semua embel-embel di depan nama. Kalau di Bandung saya selalu dipanggil Bu Wiwik, Teh Wiwik, Bu Ganjar, Mamah Qia, atau Mamah Bagas, atau Mamah Akmal. Di kampung halaman inilah saya dipanggil Wiwi saja. Walaupun yang memanggil saya statusnya juga sudah menjadi ibu-ibu seperti saya juga. Asyik sekali seperti waktu itu kembali. Ah, ya beberapa teman yang laki-laki juga menjadi pengurus desa seperti carik, atau ketua RT. Ada juga dua orang bapak muda yang menyapa saya, “Sinten nggeh (siapa, ya)? Wiwi?”, atau “Hei wong Bandung, lagi neng kene (Hai orang Bandung, lagi di sini)?” . Hahaha, yang seorang adalah orang yang sering melatih voli dekat rumah, dan yang satunya mungkin pernah membantu mengurus ktp kepindahan saya. Senangnya seperti masih diakui di kampung halaman saya walaupun secara resmi bukan orang sini lagi.

Saat berjalan-jalan bersama adik saya, kami melewati sebuah rumah. Iseng saya bertanya, siapa yang menempati rumah itu sekarang. Karena saya tahu pemilik rumah itu sudah meninggal. Adik saya menyebut sebuah nama yang masih saya kenal. Nama seorang anak dari pemilik rumah itu dulu. Rumah itu adalah rumah salah satu teman orang tua saya. Dulu saat lebaran jika kami tidak mudik, kami mengunjungi rumah itu. Pemilik rumah itu seperti dituakan oleh orang tua saya. Sering jika senggang siang, sore, atau malam Bapak atau Ibu berkunjung ke rumah itu untuk ngobrol. Saya juga kenal dengan anak-anaknya yang seumur saya. Saat itu rumahnya begitu ramai karena anaknya banyak. Dan begitu asri dengan macam-macam tanaman. Kini saya lihat rumah itu seperti gersang. Entah karena efek musim kemarau atau memang sengaja dibiarkan kurang terawat. Menurut info dari adik saya, sengaja rumah itu ditempati oleh Else (orang yang menempati rumah itu) beserta keluarganya yaitu suami dan tiga anaknya. Agar rumah itu tetap menjadi tempat kembali saat mudik kakak-kakak dan adik-adiknya. Agar tetap ada tempat kembali seperti dulu. Ahh, saya jadi agak sedih. Ini adalah kekhawatiran saya di masa akan datang. Saat ini saya masih mempunyai orang tua lengkap. Akankah keadaan saya akan seperti itu? Mudik dan tak menjumpai orang tua saya. Hanya mengunjungi makamnya. Dan di rumah orang tua saya, adik saya menunggu. Belum lagi keadaan saya yang hanya dua bersaudara. Padahal di kampung halaman itulah benar-benar saya dibesarkan. Benar-benar merasakan nikmatnya menjadi seorang anak. Sampai saat itu pernah saya berpikir, saya tak ingin menjadi dewasa. Atau berdoa, biarlah jalan kedewasaan itu berlangsung lama dan tak pernah sampai.   

Saya juga menyempatkan diri untuk bersepeda keliling kampung. Niatnya hanya sebentar, tapi tak disangka kami yaitu saya, suami, 4 anak menghabiskan waktu sekitar 3 jam untuk mengitari jalan kelas 2 atau 3 di dua kecamatan ! Asyik sekali kami saat itu, mengitari kebun tebu dan ngebut sekencang-kencangnya di jalanan aspal yang sepi. Saat itulah saya benar-benar merasakan. Tiba-tiba saya merasakan saya menjadi gadis kecil kembali! Gadis berkepang dua yang memakai baju terusan biru dengan pita pinggang yang diikat ke belakang. Menjadi bak petualang cilik seperti petualangan Lima Sekawan Julian, Dick, George, Anne dan Timmy yang senang melancong dengan sepeda. Seandainya...seandainya keponakan saya yang berada di boncengan saya tak memanggil saya, “Budeee!” rasanya saya akan lebih lama menjadi diri saya yang dulu. Diri saya puluhan tahun yang telah lalu. Keponakan saya telah menyadarkan saya, begitu juga anak-anak saya dengan teriakan senangnya..,”Bundaaa!!”

Saat mudik kemarin saya juga bersilaturahim dengan salah satu teman SMP saya. Di sana saya juga bertemu dengan orang tua teman saya. Orang tua teman saya sama halnya dengan orang tua saya juga telah memasuki masa pensiun. Teringat 20 tahun silam, bapak teman saya ini seorang yang gagah. Tapi waktu telah membawanya menjadi seorang kakek bercucu. Sama halnya dengan bapak saya. Waktu juga telah membawa saya seperti sosok seseorang setengah baya seperti Bapak saya 20 tahun yang lalu. Sekarang saya adalah seorang ibu seperti orang tua saya 20 tahun yang lalu. Saat berkunjung, teman saya sempat bercerita. Bahwa beberapa hari lalu hp bapak teman saya sempat tertinggal di sebuah toko. Diceritakannya betapa panik bapaknya saat menyadari hp ada tidak ada di tangannya. Bukan masalah harga hp, tapi masalah nomor-nomor kontak teman-temannya yang tersimpan di sana. Teman-teman masa mudanya dulu yang sekarang juga sama-sama telah pensiun. Alhamdulillah akhirnya hp itu diketemukan kembali. Saya juga bertanya mengenai kegiatan bapak teman saya tersebut. Teman saya bilang, bapaknya sering menelepon teman-temannya. Saling mengobrol tentang kegiatan sekarang atau berbicara masa yang telah lalu. Sesaat saya terdiam. Masa lalu?

Esok harinya, datanglah sepasang suami istri ke rumah orang tua saya. Teman kerja orang tua saya saat berdinas dulu. Teman yang sudah sama-sama pensiun. Ibu saya mengatakan dua temannya ini sering sekali berlama-lama saat berkunjung. Rekor terlamanya dari jam 9 pagi sampai jam 5 sore ! Kaget juga saya. Lalu saya bertanya apa yang dilakukannya selama itu di rumah orang tua saya. Ibu saya hanya menjawab mengobrol. Bukan bergunjing, membicarakan orang lain tapi membicarakan masa lalu. Aha, masa lalu lagi. Ini kali kedua saya mendengar hal ini. Lantas saya berpikir, jadi jika orang sudah senior, dengan usia tak lagi muda, tenaga yang tak lagi produktif jika bertemu akan berbicara tentang masa lalu. Masa yang telah lalu. Masa saat jaya di saat muda. Saling menanyakan kabar teman yang lama tak bersua. Teman yang telah pergi karena sudah dipanggil oleh Allah SWT, dan sebagainya. Sudah tak muda lagi membicarakan masa lalu, anak-anak membicarakan masa depan. Bertahun-tahun lalu saat masih kecil, sering juga saya berbicara tentang masa depan bersama dengan teman-teman saya. Menanti dengan tidak sabar akan datangnya masa depan. Sangat ingin tahu keadaan kami di masa datang. Tanpa disadari padahal masa itulah masa yang terindah dalam hidup saya. Masa kecil dan masa muda.  

Di rumah orang tua saya ada sebuah kamar kecil. Kamar kecil yang khusus disediakan untuk sholat. Di sinilah di ruang inilah saya tata lagi apa tujuan hidup saya. Bertahun-tahun lalu saat usia saya 5, 7, 9 tahun sama seperti usia anak-anak saya sekarang, saya juga duduk di sini. Setelah sholat menengadahkan tangan kecil saya, meminta banyak hal pada Yang Kuasa Allah SWT. Merenung kembali, menata kembali. Karena dari ruang inilah semua bermula. Dari ruang inilah saya mulai merancang cita-cita. Saya bersyukur dengan apa yang telah Allah anugerahkan kepada saya. Bertahun-tahun lalu saya merancang masa depan dengan tanpa pengalaman. Kini saya menata lagi masa depan dengan berbagai pengalaman yang telah saya dapatkan, pengalaman baik dan pengalaman buruk. Di ruangan yang sama. Saya sadari pengalaman baik membuat saya semakin bersemangat, pengalaman buruk kadang membuat langkah ini sedikit terganjal. Tapi hidup harus dijalani..anak-anak saya telah menyadarkan saya bahwa waktu memang tak pernah berputar kembali walau seberapa kuat kita ingin kembali. Tapi kami masih punya kesempatan untuk kembali muda. Ya nanti di surga nanti, tempat berkumpul kami yang kekal. Di dunia hanya tempat singgah untuk berkarya, berkarya dan terus berkarya... Sambil mempersiapkan generasi yang akan melanjutkan karya-karya kami sebagai orang tuanya. Masa lalu biarlah berlalu. Masa lalu yang indah akan selalu tersimpan di hati, menjadi penyemangat menghadapi masa depan. Kenangan buruk sudah lupakan, jangan biarkan terjadi kembali. Harus terus bergerak menebar kebaikan sampai akhir. Sampai menghadap Allah SWT dengan penuh kebanggaan. TAk ada pilihan lain.