Sabtu, 21 Januari 2012

Ulang Tahun Bapak



Aku dulu kuliah di Bandung, sedang adikku kuliah di Solo. Kedua orang tuaku tinggal di Tegal. Dari dulu aku bersama adikku dekat dengan Bapak. Kami sering meminta sesuatu yang kami inginkan justru kami utarakan kepada Bapak. Kami sudah mengenal kalau Bapak itu orangnya agak royal, hehehe. Untuk urusan senang-senang, Bapak sering mengabulkan. Berbeda dengan Ibu yang menurut kami waktu itu agak ‘pelit’. Yah, mungkin Ibu jadi rem untuk mengontrol kali, yaa...

Waktu itu biaya telepon lewat hp masih mahal. Kami masih sering berkomunikasi dengan orang tua lewat telepon rumah pada jam-jam tertentu. Saat ulang tahun Bapak tiba, kami berdua sering telepon ke rumah untuk mengucapkan selamat ulang tahun. Kegiatan ini rutin aku dan adikku lakukan. Padahal kami berdua tak pernah sama sekali merencanakannya. Tapi entah kenapa bisa kompak.

Kadang adikku duluan yang telepon ke rumah, kadang aku yang duluan. Dan ketika kami mengucapkan selamat ulang tahun kepada Bapak, kata-kata terakhir yang kami ucapkan adalah, “Minta hadiahnya dong, Pak!” atau “Hadiahnya, mana Pak?”:-). Ini juga tanpa rencana lhooo, aku dan adikku memang kompak...Saat mendengar ucapan itu Bapak tertawa-tawa di seberang sana. Saat menelepon, biasanya Ibu yang mengangkat duluan dan ngomel-ngomel. “Bukannya ngasih hadiah, ini malah minta hadiah ke yang ultah!”

Sungguh aku sangat merindukan saat-saat demikian. Saat aku betul-betul menjadi seorang anak. Dan aku bukan menjadi orang tua. Ringan dan tanpa beban...

Dibonceng Dengan Sepeda Mini


Kisah ini terjadi tahun 1985. Kenapa aku ingat? Karena aku ingat persis saat itu aku masih kelas 1 SD. Saat itu adalah saat sepatu plastik dengan hak rada tinggi mirip sepatu ibu-ibu berwarna merah atau hitam menjadi trend. Aku bilang kepada Ibu, bahwa aku ingin dibelikan sepatu itu. Maka pada hari Minggu berangkatlah aku bersama Ibu ke pasar naik becak. Rutinitas mingguan yang biasa ibu lakukan. Sepatu yang aku inginkan ada di sana. Saat itu belum banyak mal-mal berdiri seperti sekarang. Sepatu yang aku inginkan itu ada banyak dijual di pasar berbarengan dengan pedagang sayur. Singkat kata aku memilih sepatu, mencobanya, kemudian Ibu membayarnya. Setelah Ibu selesai berbelanja kami pun pulang.
Entah kenapa, sesampainya di rumah ketika aku ingin mencoba sepatu baru dan memamerkannya kepada adikku, ternyata sepatu merah itu berbeda ukuran. Salah satu dari pasangan sepatu itu (entah kanan atau kiri, aku lupa) ukurannya kekecilan. Maka Ibu pun menyuruh aku kembali ke pasar untuk menukarkan kembali sepatu yang kekecilan tersebut. Kali ini aku ke pasar tidak bersama Ibu. Tapi bersama Bapak.  Tidak naik angkot, dan juga tidak naik becak. Tapi naik sepeda. Sepeda mini sebesar sepeda Qia yang berumur 5 tahun sekarang (untuk ukuran tubuh Qia, sepeda mini itu terlalu besar). Dengan sadel yang ditinggikan. Sehingga Bapak bisa dengan nyaman mengayuh sepeda itu. Aku duduk membonceng di belakang beliau sambil memegang sadel dengan kaki yang agak ditekuk.
Sampai sekarang aku masih merasakan sekali rasanya dibonceng waktu itu. Panas tanpa memakai topi, memandang ke bawah jalanan aspal yang serasa seperti terbang seiring dengan kayuhan Bapak yang semakin kencang. Sambil memegang sadel tempat duduk Bapak. Hhh..rasanya aku ingin kembali ke masa itu. Itu adalah salah satu kenangan terindah dalam hidupku. Aku sudah menceritakan pengalaman masa kecil ini kepada Qia dan Bagas. Ternyata mereka sangat menyukainya:). Aku tak tahu, mungkin cerita ini terdengar biasa saja, tapi sungguh aku terkesan dan mereka terkesan juga. Aku mungkin tak bisa membonceng Qia dan Bagas dengan sepeda di sini. Karena keadaan tak memungkinkan. Dengan kondisi tanah yang naik turun, mungkin aku hanya bisa membonceng mereka dengan motor. Semoga saat mudik nanti aku bisa membonceng mereka berdua dengan sepeda. Sambil mengenang, aku juga dulu pernah diperlakukan demikian:).