Sabtu, 28 November 2009

Menjual Sisir pada Biksu















Ada sebuah perusahaan "pembuat sisir" yang ingin mengembangkan bisnisnya, sehingga management ingin merekrut seorang sales manager yang baru. Perusahaan itu memasang IKLAN pada surat kabar. Tiap hari banyak orang yang datang mengikuti wawancara yang diadakan ... jika ditotal jumlahnya hampir seratus orang hanya dalam beberapa hari.

Kini, perusahaan itu menghadapi masalah untuk menemukan calon yang tepat di posisi tersebut. Sehingga si pewawancara membuat sebuah tugas yang sangat sulit untuk setiap orang yang akan mengikuti wawancara terakhir.

Tugasnya adalah : Menjual sisir pada para biksu di wihara. Hanya ada 3 calon yang bertahan untuk mencoba tantangan di wawancara terakhir ini. (Mr. A, Mr. B, Mr. C). Pimpinan pewawancara memberi tugas :
"Sekarang saya ingin anda bertiga menjual sisir dari kayu ini kepada para biksu di wihara. Anda semua hanya diberi waktu 10 hari dan harus kembali untuk memberikan laporan setelah itu."

Setelah 10 hari, mereka memberikan laporan.
Pimpinan pewawancara bertanya pada Mr. A : "Berapa banyak yang sudah anda jual?". Mr. A menjawab: "Hanya SATU." Si pewawancara bertanya lagi : "Bagaimana caranya anda menjual?". Mr. A menjawab: "Para biksu di wihara itu marah-marah saat saya menunjukkan sisir pada mereka. Tapi saat saya berjalan menuruni bukit, saya berjumpa dengan seorang biksu muda - dan dia membeli sisir itu untuk menggaruk kepalanya yang ketombean."

Pimpinan pewawancara bertanya pada Mr. B : "Berapa banyak yang sudah anda jual?". Mr. B menjawab : "SEPULUH buah." "Saya pergi ke sebuah wihara dan memperhatikan banyak peziarah yang rambutnya acak-acakan karena angin kencang yang bertiup di luar wihara. Biksu di dalam wihara itu mendengar saran saya dan membeli 10 sisir untuk para peziarah agar mereka menunjukkan rasa hormat pada patung sang Budha."

Kemudian, Pimpinan pewawancara bertanya pada Mr. C : "Bagaimana dengan anda?". Mr. C menjawab: "SERIBU buah!". Si pewawancara dan dua orang pelamar yang lain terheran-heran. Si pewawancara bertanya : "Bagaimana anda bisa melakukan hal itu?". Mr. C menjawab: "Saya pergi ke sebuah wihara terkenal. Setelah melakukan pengamatan beberapa hari, saya menemukan bahwa banyak turis yang datang berkunjung ke sana. Kemudian saya berkata pada biksu pimpinan wihara, 'Sifu, saya melihat banyak peziarah yang datang ke sini. Jika sifu bisa memberi mereka sebuah cindera mata, maka itu akan lebih menggembirakan hati mereka.' Saya bilang padanya bahwa saya punya banyak sisir dan memintanya untuk membubuhkan tanda tangan pada setiap sisir sebagai sebuah hadiah bagi para peziarah di wihara itu. Biksu pimpinan wihara itu sangat senang dan langsung memesan 1,000 buah sisir!"

MORAL DARI CERITA

Universitas Harvard telah melakukan riset, dengan hasil :
1) 85% kesuskesan itu adalah karena SIKAP dan 15% adalah karena kemampuan.
2) SIKAP itu lebih penting dari kepandaian, keahlian khusus dan keberuntungan.

Dengan kata lain, pengetahuan profesional hanya menyumbang 15% dari sebuah kesuksesan seseorang dan 85% adalah pemberdayaan diri, hubungan social dan adaptasi. Kesuksesan dan kegagalan bergantung pada bagaimana sikap kita menghadapi masalah.

Dalai Lama biasa berkata : "Jika anda hanya punya sebuah pelayaran yang lancar dalam hidup, maka anda akan lemah. Lingkungan yang keras membantu untuk membentuk pribadi anda, sehingga anda memiliki nyali untuk menyelesaikan semua masalah."

"Anda mungkin bertanya mengapa kita selalu berpegah teguh pada harapan. Ini karena harapan adalah : hal yang membuat kita bisa terus melangkah dengan mantap, berdiri teguh - dimana pengharapan hanyalah sebuah awal. Sedangkan segala sesuatu yang tidak diharapkan .... adalah hal yang akan mengubah hidup kita." (Meredith Grey, Grey's Anatomy - Season 3)

Ingatlah, saat keadaan ekonomi baik, banyak orang jatuh bangkrut. Tapi saat keadaan ekonomi buruk, banyak jutawan baru yang bermunculan. Jadi, dengan sepenuh hati terapkanlah SIKAP kerja yang benar; 85% kesuksesan 'sudah' di tangan anda.

Semoga sukses !. (from milist)

Senin, 16 November 2009

Sekolah Pertama (2)



















Saya kira kita perlu membuat pola solusi dengan dua bentuk ; solusi strategis dan solusi teknis.

Ini mengantar kita untuk mencoba mengajukan pertanyaan ; institusi apa saja yang sebenarnya terlibat dalam proses pendidikan ?

Kita akan bertemu dengan institusi : keluarga, sekolah, masyarakat, organisasi, media masa, dan lingkungan kerja.

Pada usia pendidikan dasar dan menengah, antara usia 0 sampai 18 tahun, sebenarnya institusi keluarga dan sekolah yang sangat dominan dalam proses pendidikan anak. Ini jika dominasi itu diukur dari segi prosentase penggunaan waktu pada masing-masing institusi.

Sebuah penelitian menunjukkan bahwa sebenarnya anak-anak kita hanya menghabiskan 14% waktunya disekolah dan manghabiskan 86% sisanya dirumah. Angka ini tentu saja tidak absolut. Sebab dua institusi lain, yaitu organisasi dan media massa, masing-masing terjadi dirumah dan di sekolah. Misalnya, orang bisa membaca majalah atau koran dan menonton film dibioskop. Atau seorang anak menjadi anggota club olahraga, kesenian, kelompok belajar atau geng tertentu.

Sementara lingkungan kerja belum efektif dalam usia tersebut, sedang lingkungan masyarakat biasanya masih berskala kecil karena keterbatasan ruang lingkup pergaulan anak. Jadi, lingkungan keluarga masih tetap dominan dibanding institusi lainnya. Saya tidak ingin menafikan peran pendidikan formal dengan perbandingan ini. Tapi saya terutama ingin menggambarkan bahwa ada banyak yang bisa kita lakukan di tengah semua keterbatasan kita. Yaitu meningkatkan efektifitas proses pembelajaran dirumah kita. Walaupun begitu, saya tetap ingin menegaskan bahwa solusi strategis ada pada peningkatan efektifitas peran pendidikan dari semua institusi pendidikan yang telah saya sebutkan. Saya menamakannya JARINGAN PENDIDIKAN.


Baiklah, kita kembali ke rumah kita dan mencoba melihat seperti apakah suasana pembelajaran itu berlangsung.

Pendidikan dalam definisinya yang paling esensial dan sederhana adalah membentuk manusia. Dalam proses pembentukan manusia, pembelajaran merupakan proses menyerap kebenaran, kebaikan dan keindahan secara sadar dan terus menerus. Dalam definisi inilah maka proses pembelajaran menjadi wajib bagi seorang muslim dan muslimah sejak dari buaian sampai liang lahat.

Disini sebenarnya Islam mengajarkan teori : belajar sepanjang hidup. Tidak ada kata berhenti dalam belajar dan usia manusia tidak boleh dijadikan stasiun yang memisahkan antara belajar dan tidak belajar.

Jabaran lebih jauhnya adalah bahwa kita harus memindahkan suasana sekolah dan perguruan tinggi kedalam rumah kita.

Di dalam rumah kita harus ada tradisi berpikir sehat, serius dan metodologis, harus ada tradisi membaca yang intens dan kontinyu, harus ada tradisi diskusi dan dialog yang terbuka dan intens, Harus ada apresiasi yang terarah terhadap semua karya seni dan bentuk-bentuk keindahan.

Semua anggota keluarga harus menikmati proses pembelajaran itu ; dari ayah, ibu, anak, keluarga lain sampai pembantu. Tapi pada awal dan akhir dari proses pembelajaran itu haruslah selalu terbingkai dalam suasana dan makna ibadah. Tidak boleh hanya suasana spiritual yang dominan, atau hanya suasana ilmiah yang dominan.

Jadi dirumah harus ada masjid dan perguruan tinggi. Anak yang tumbuh dalam suasana itu akan cinta belajar seumur hidup dan akan melihat sekolah sebagai lembaga yang berfungsi sama dengan rumahnya.

Masalahnya adalah, sebagai orang tua, lebih sering mana anak Anda melihat Anda : sedang makan, sedang pergi kemasjid, sedang menonton televisi, atau sedang membaca ?

Sebab ada rumah yang bersuasana restoran, atau masjid, atau pasar, atau binatu, atau perguruan tinggi ?

PILIH YANG MANA ??

(disarikan dari uraian Ust. Anis Matta, Lc.)

Sabtu, 14 November 2009

Kerudung



















Pada suatu sore yang cerah setelah mandi dan rapi, dari dalam rumah Qia melihat ke arah luar. Dia melihat beberapa anak tetangga sedang bermain. Tiba-tiba dia berkata,
"Mbak Ika kan perempuan, kok gak pake kerudung? Ibunya juga gak pake kerudung? Mbak Dina juga gak pake kerudung, ibunya gak pake kerudung?"

Mendengar perkataannya sejenak aku terdiam. Rupanya dia sedang melihat fenomena yang terjadi di luar rumah dengan yang selama ini kami ajarkan di rumah bertentangan satu sama lain. Selama ini kami (aku dan suami) menekankan bahwa perempuan harus pake kerudung. Yang tidak pake kerudung adalah laki-laki. Dari perkataannya yang polos, aku segera menebak bahwa dia sedang berpikir adanya pola contoh atau figur dari ibu ke anak.

Setelah berpikir-pikir sejenak, akhirnya aku berkata, "Mbak Dea juga gak pake kerudung, ibunya gak pake kerudung. Mbak Tina gak pake kerudung, ibunya juga gak pake kerudung. Tapi Qia ikut bunda aja, ya. Bunda pake kerudung, Qia pake kerudung...."

Semenjak kejadian itu, ketika akan keluar rumah Qia tak lupa memakai kerudung. Karena dia melihat aku sebagai ibunya juga selalu memakai kerudung jika keluar rumah. Tak sadar kita sebagai orang tua adalah figur pertama yang dijadikan anak sebagai panutan untuk bertingkah laku.

Terima kasih kepada Qia yang telah percaya kepada Bunda...

(Semua nama telah disamarkan)

Rabu, 11 November 2009

Sekolah Pertama (1)







Terasa ada jarak yang jauh antara harapan kita dengan realitas pendidikan yang ada.

SDIT (Sekolah Dasar Islam Terpadu) yang dianggap banyak orang sebagai alternatif solusi tidak sanggup menampung anak-anak kita yang grafik pertumbuhannya cukup menakjubkan. SDIT itu sendiri mengeluh kekurangan dana karena sistem pendidikan ideal butuh dana besar, sementara rata-rata orangtua siswa (yaitu kita sendiri) berstatus ekonomi lemah alias sulit membayar harga tinggi. Sebab yang bisa membuat sekolah ideal dengan harga murah hanya pemerintah.

Segera saja terlihat tarik menarik yang kurang sedap antara harapan dan kenyataan. Dan di tengah tarik menarik itu berdirilah makhluk lain yang kita sebut : kemampuan.

Sementara itu, kita juga mendengar keluhan dari ibu rumahtangga, yaitu itri-istri kita, yang merasa tidak mendapat peluang memadai untuk mengembangkan diri, baik secara formal maupun nonformal.

Dua hal yang segera terekam dalam benak kita.

Pertama, pada umumnya kita sangat banyak menggantungkan proses belajar, baik anak-anak maupun istri kita, bahkan kita sendiri, pada institusi pendidikan formal atau melalui proses pembelajaran kolektif. Ini melahirkan kesan, bahwa proses belajar harus selalu kolektif dan selalu menuntut harga mahal karena terselenggara dalam institusi.

Kedua, semangat melahirkan banyak anak yang dianjurkan Rasulullah saw serta semangat mendapatkan pendidikan ideal tidak berjalan seimbang dengan semangat berusaha dan berekonomi. Kecenderungan terhadap solusi pembiayaan pendidikan melalui mekanisme donasi, subsidi silang, atau tuntutan biaya murah, sebenarnya semakin memperkuat asumsi lemahnya semangat berusaha di kalangan kita.

Sebagai sebuah arus sosial, kedua kecenderungan tadi tidak akan membantu menampilkan wajah sosial Islam dengan cara yang mempesona dan menarik untuk diteladani. Saya tentu saja tidak sedang menggugat semangat takaful sebagai suatu piranti sistem sosial Islam. Tapi yang utama ingin saya soroti adalah mentalitas kita dalam proses berislam, bahwa ada ketidakseimbangan antara semangat sosial dengan semangat ekonomi kita; bahwa ada ketidakseimbangan antara pengkondisian yang mendorong kita cepat menikah dan memiliki banyak anak serta obsesi pendidikan ideal untuk melahirkan Generasi Rabbani, dengan tarbiyah iqtishadiyah (ekonomi) yang kita peroleh.

Adanya donatur dan subsidi silang sebagai bentuk takaful tentu saja baik, keterampilan entrepreneurship tentu juga jauh lebih baik daripada keterampilan mencari donatur. Nikah cepat dan punya anak banyak jelas-jelas merupakan sunnah Rasulullah saw, tapi membuat kemampuan-kemampuan kita setara dengan tingkat tanggungjawab kita adalah sunnah yang jauh lebih penting. Bukankah berislam seperti yang kita peragakan dan secara perlahan membentuk wajah sosial kita, dengan cara begini, membuat Islam tampak terpenggal-penggal dan sama sekali tidak menarik ?

Minggu, 01 November 2009

Sudah Tiga Tahun


Sudah 3 tahun, hari-hari kita lewati...
Sudah 3 tahun, hari-hari kita jalani...
Sudah 3 tahun, hari-hari diisi dengan tangisan, teriakan, keluhan,...
Sudah 3 tahun, pikiran tenaga dicurahkan untuk pertumbuhan dan perkembangannya...
Sudah 3 tahun pula ada kau di sisi kami

Awal memandikanmu hingga sekarang...
Awal menidurkanmu hingga sekarang...
Mengajakmu bermain hingga sekarang...
Berjalan masuk gang keluar gang...
Hingga sekarang berkeliling komplek rumah...
Hingga kau jadi gadis kecil yang cantik dan lucu...
Hingga kau punya adik yang lucu
Dan kau bermain bersamanya...

Walau kadang kau mengesalkan...
Kau tetap mengisi hati kami...
Di sini di lubuk hati kami yang terdalam...
Ada cinta dan sayang selalu untukmu...

Selamat Ulang Tahun anakku sayang...
Maafkan bundamu yang selalu ada kekurangan dalam mendampingimu...

Untuk Qia, semoga selalu barokah dalam menjalani hari
Tgl 31 Oktober 2009 umur yang ke3 tahun...

Written by Wiwik Hidayati
Pasirlayung Asri E4, Padasuka, Bandung
Senin,2 November 2009. Pukul 2:47