Kamis, 02 Februari 2017

MASA DEPAN ITU APA ?

Percakapan suatu pagi jelang sarapan itu sampai sekarang sangat mengesankan. Dimulai dari anak ke-2 yang tiba-tiba bertanya.

Bagas (8th) : “Bunda, ‘masa depan’ itu apa?”
Bunda         : “’Masa depan’  itu masa yang akan datang. Atau waktu yang akan datang. Kita belum                              tahu apa yang akan terjadi pada masa depan atau waktu yang akan datang. Sekarang                           kita memasuki ‘waktu sekarang’ atau ‘masa sekarang’. Bagas ngerti?
Bagas         :  (diam, mikir)
Bunda        : “Semua yang kita nikmati  sekarang adalah hasil yang apa yang kita lakukan di waktu                           atau masa kemarin, kemarin lusa, setahun lalu, dan waktu yang dulu-dulu. Tanpa                                 melupakan Allah pasti. Makannya kita harus selalu berbuat baik setiap waktu.” (sambil                       berdoa mudah-mudahan Bagas mengerti)
Bagas         : “Ooo, berarti masa depan adalah waktu yang akan datang ya, Nda? Sekarang Bagas                                ngerti.”
Qia(10th)    :”Nanti, kalau kita sudah sampai ke ‘masa depan’, masa itu menjadi ‘masa/waktu                                    sekarang’.”  (Kakaknya yang dari tadi mendengarkan memberikan komentar).
Bunda       : “Iya, betul!” (jujur kaget banget dengan komentarnya yang terakhir ini)

Tiba-tiba saya ingat masa lalu yang menjadi sejarah. Tiba-tiba saya ingat teman-teman TK saya, teman SD, teman SMP, teman SMA, teman kuliah...masa kecil saya..Saya jadi sadar ‘masa sekarang’ saya adalah ‘masa depan’ saya yang dulu, waktu yang telah saya lalui. ‘Masa sekarang’ adalah masa yang tak terbayangkan dulu. ‘Masa sekarang’ adalah masa yang kadang saya tak sabar untuk segera sampai dulu..           

Oooh, ya Allah jika ingin dibandingkan, ternyata masa lalu saya dulu ternyata lebih indah daripada masa sekarang. Seandainyai waktu bisa diputar, saya ingin kembali ke masa lalu itu. Kembali lagi ke masa-masa masih bersama orang tua. Kembali ke masa-masa bermain dulu.


Astaghfirullah, ampuni hamba ya Allah yang masih terus belajar bersyukur. Engkau telah tetapkan bahwa waktu tak bisa kembali. Bayi menjadi anak, anak menjadi dewasa, dewasa lalu menua, tapi tak bisa sebaliknya. Kini yang bisa saya lakukan adalah hanya terus berbuat baik, dan menikmati apa yang telah dimiliki serta memeliharanya, bahkan menyiramnya agar terus berkembang dan dinikmati bersama lebihhh dan lebihhh banyak orang..Hanya ini jalan satu-satunya..

Senin, 24 Agustus 2015

Menyusuri Lorong Waktu


Perjalanan mudik tahun 2015 ini bagi saya terasa sangat istimewa. Ada sesuatu yang sangat berbeda saya rasakan. Memang ini seperti rutinitas tahunan hari raya Idul Fitri saat keluarga kecil saya berkunjung ke rumah orang tua saya di Tegal sana.  Seperti menyusuri lorong waktu masa lalu tapi tak pernah sampai  tujuan. Menjadi anak-anak kemudian menjadi dewasa menjadi anak-anak lagi, dan menjadi dewasa lagi begitu seterusnya. Saya tak melihat orang lain. Saya melihat diri saya sendiri sebagai tokoh utamanya. Biasanya ini tak pernah terjadi.  Atau mungkin ini terjadi karena dua anak saya memasuki usia SD kelas 4 dan kelas 1. Yang saat usia itu saya sedang asyik-asyiknya bermain dengan teman-teman. Atau mungkin lagi karena beberapa tahun lagi saya akan memasuki usia 40 tahun? Entahlah saya tak tahu pastinya.

Pernah menyaksikan film  dengan adegan seseorang yang sudah dewasa atau tua tiba-tiba memasuki lorong waktu yang buram dan sampai pada suatu masa dia masih anak-anak atau muda? Atau pernahkah Anda menyaksikan film Titanic yang mengetengahkan adegan seorang tokoh bernama Rose DeWitt Bukater yang sudah tua memegang cermin yang baru ditemukan dari dalam samudra? Saat itu Rose berharap melihat wajahnya yang cantik jelita, muda, segar yang terpantul dari dalam cermin (karena itu memang cerminnya yang biasa digunakan saat ia masih muda). Tapi saat dia melihat ke dalam cermin, yang terpantul adalah wajahnya yang sudah sangat tua dan keriput. Dan dia merasa silau dengan kenyataan yang ada. Nah inilah yang saya rasakan.

Saat saya masuk ke kamar saya yang sekarang kamar itu sudah ditempati oleh keponakan saya, saya terdiam duduk sejenak. Ah, ya...kamar inilah yang ikut memberikan andil dalam hidup saya. Tempat istirahat saya saat saya lelah belajar dan bermain. Tempat istirahat saya dari anak-anak hingga lulus SMA. Tempat menyimpan rahasia-rahasia kecil saya. Sesaat saya melihat adegan masa lalu pada suatu pagi Minggu di tahun 1991. Bapak masuk ke dalam kamar dan mendapati saya sedang belajar di balik pintu kamar. Menengok apa yang saya sedang saya lakukan dan menawarkan jajanan pasar yang baru dibeli di pasar. Saya ingat sekali saat itu adalah minggu ujian akhir semester pertama SMP dan saat itu saya duduk di kelas 7. Besok seninnya adalah hari pertama ujian saya. Agaknya saya terlena dan membiarkan masa lalu membawa saya. Saya membaringkan badan saya. Dan terbangun mendapati diri saya yang sekarang. Ada rasa sedih sekilas datang.

Di ruang tengah ada meja makan dan TV. Tata letaknya masih persis sama sejak 30 tahun yang lalu! Di tahun 1985 saat kami pindah ke rumah ini. Saat saya duduk di meja makan sambil menonton TV, sambil melihat anak saya dan keponakan saya bermain, saya melihat lagi. Ya, inilah kursi yang menopang tubuh kecil saya.  Saya masih bisa merasakan kaki saya belum menjejak ke lantai. Sambil disisir rambut saya oleh Ibu atau Bapak, saya sarapan sebelum pergi sekolah. Saat itu saya duduk di SD kelas 1 sampai 4. Duduk di meja makan sambil memandang ke luar jendela, memandang kebun bambu dan kebun singkong yang luas terhampar. Saya hampiri lemari bufet. Saya buka lacinya. Masih tersimpan baik kaset-kaset pita. Kaset yang sering saya putar dulu saat masih SD. Dari kaset sanggar cerita, kaset lagu-lagu, bahkan kaset Bapak dan Ibu saya saat seusia saya sekarang. Membuka kaset ini seperti melihat tangan kecil saya lincah membuka, menutup, melipat kertas kaset. Di ruang ini saya menemukan radio saya juga lho. Radio yang menemani saya belajar saat duduk di kelas 4,5 SD. Saat itu saya mengikuti sandiwara radio Nini Pelet.

Setiap tahun saya selalu menyempatkan diri silaturahim dengan tetangga saya. Teman masa kecil saya. Melihat mereka sama juga keadaannya seperti saya. Tidak ada yang menduga, bahwa kami bisa sampai hingga saat ini. Memang ada beberapa teman kecil saya meninggal karena sakit. Mereka tidak sampai hingga saat ini. Asyik sekali saat itu kami bermain. Berlari, bermain petak umpet, bermain sondakh, lompat tali, sesekali nonton TV bareng (karena saat itu kesempatan nonton kartun hanya sore hari). Ketika bertemu teman-teman kecil inilah, hilang semua embel-embel di depan nama. Kalau di Bandung saya selalu dipanggil Bu Wiwik, Teh Wiwik, Bu Ganjar, Mamah Qia, atau Mamah Bagas, atau Mamah Akmal. Di kampung halaman inilah saya dipanggil Wiwi saja. Walaupun yang memanggil saya statusnya juga sudah menjadi ibu-ibu seperti saya juga. Asyik sekali seperti waktu itu kembali. Ah, ya beberapa teman yang laki-laki juga menjadi pengurus desa seperti carik, atau ketua RT. Ada juga dua orang bapak muda yang menyapa saya, “Sinten nggeh (siapa, ya)? Wiwi?”, atau “Hei wong Bandung, lagi neng kene (Hai orang Bandung, lagi di sini)?” . Hahaha, yang seorang adalah orang yang sering melatih voli dekat rumah, dan yang satunya mungkin pernah membantu mengurus ktp kepindahan saya. Senangnya seperti masih diakui di kampung halaman saya walaupun secara resmi bukan orang sini lagi.

Saat berjalan-jalan bersama adik saya, kami melewati sebuah rumah. Iseng saya bertanya, siapa yang menempati rumah itu sekarang. Karena saya tahu pemilik rumah itu sudah meninggal. Adik saya menyebut sebuah nama yang masih saya kenal. Nama seorang anak dari pemilik rumah itu dulu. Rumah itu adalah rumah salah satu teman orang tua saya. Dulu saat lebaran jika kami tidak mudik, kami mengunjungi rumah itu. Pemilik rumah itu seperti dituakan oleh orang tua saya. Sering jika senggang siang, sore, atau malam Bapak atau Ibu berkunjung ke rumah itu untuk ngobrol. Saya juga kenal dengan anak-anaknya yang seumur saya. Saat itu rumahnya begitu ramai karena anaknya banyak. Dan begitu asri dengan macam-macam tanaman. Kini saya lihat rumah itu seperti gersang. Entah karena efek musim kemarau atau memang sengaja dibiarkan kurang terawat. Menurut info dari adik saya, sengaja rumah itu ditempati oleh Else (orang yang menempati rumah itu) beserta keluarganya yaitu suami dan tiga anaknya. Agar rumah itu tetap menjadi tempat kembali saat mudik kakak-kakak dan adik-adiknya. Agar tetap ada tempat kembali seperti dulu. Ahh, saya jadi agak sedih. Ini adalah kekhawatiran saya di masa akan datang. Saat ini saya masih mempunyai orang tua lengkap. Akankah keadaan saya akan seperti itu? Mudik dan tak menjumpai orang tua saya. Hanya mengunjungi makamnya. Dan di rumah orang tua saya, adik saya menunggu. Belum lagi keadaan saya yang hanya dua bersaudara. Padahal di kampung halaman itulah benar-benar saya dibesarkan. Benar-benar merasakan nikmatnya menjadi seorang anak. Sampai saat itu pernah saya berpikir, saya tak ingin menjadi dewasa. Atau berdoa, biarlah jalan kedewasaan itu berlangsung lama dan tak pernah sampai.   

Saya juga menyempatkan diri untuk bersepeda keliling kampung. Niatnya hanya sebentar, tapi tak disangka kami yaitu saya, suami, 4 anak menghabiskan waktu sekitar 3 jam untuk mengitari jalan kelas 2 atau 3 di dua kecamatan ! Asyik sekali kami saat itu, mengitari kebun tebu dan ngebut sekencang-kencangnya di jalanan aspal yang sepi. Saat itulah saya benar-benar merasakan. Tiba-tiba saya merasakan saya menjadi gadis kecil kembali! Gadis berkepang dua yang memakai baju terusan biru dengan pita pinggang yang diikat ke belakang. Menjadi bak petualang cilik seperti petualangan Lima Sekawan Julian, Dick, George, Anne dan Timmy yang senang melancong dengan sepeda. Seandainya...seandainya keponakan saya yang berada di boncengan saya tak memanggil saya, “Budeee!” rasanya saya akan lebih lama menjadi diri saya yang dulu. Diri saya puluhan tahun yang telah lalu. Keponakan saya telah menyadarkan saya, begitu juga anak-anak saya dengan teriakan senangnya..,”Bundaaa!!”

Saat mudik kemarin saya juga bersilaturahim dengan salah satu teman SMP saya. Di sana saya juga bertemu dengan orang tua teman saya. Orang tua teman saya sama halnya dengan orang tua saya juga telah memasuki masa pensiun. Teringat 20 tahun silam, bapak teman saya ini seorang yang gagah. Tapi waktu telah membawanya menjadi seorang kakek bercucu. Sama halnya dengan bapak saya. Waktu juga telah membawa saya seperti sosok seseorang setengah baya seperti Bapak saya 20 tahun yang lalu. Sekarang saya adalah seorang ibu seperti orang tua saya 20 tahun yang lalu. Saat berkunjung, teman saya sempat bercerita. Bahwa beberapa hari lalu hp bapak teman saya sempat tertinggal di sebuah toko. Diceritakannya betapa panik bapaknya saat menyadari hp ada tidak ada di tangannya. Bukan masalah harga hp, tapi masalah nomor-nomor kontak teman-temannya yang tersimpan di sana. Teman-teman masa mudanya dulu yang sekarang juga sama-sama telah pensiun. Alhamdulillah akhirnya hp itu diketemukan kembali. Saya juga bertanya mengenai kegiatan bapak teman saya tersebut. Teman saya bilang, bapaknya sering menelepon teman-temannya. Saling mengobrol tentang kegiatan sekarang atau berbicara masa yang telah lalu. Sesaat saya terdiam. Masa lalu?

Esok harinya, datanglah sepasang suami istri ke rumah orang tua saya. Teman kerja orang tua saya saat berdinas dulu. Teman yang sudah sama-sama pensiun. Ibu saya mengatakan dua temannya ini sering sekali berlama-lama saat berkunjung. Rekor terlamanya dari jam 9 pagi sampai jam 5 sore ! Kaget juga saya. Lalu saya bertanya apa yang dilakukannya selama itu di rumah orang tua saya. Ibu saya hanya menjawab mengobrol. Bukan bergunjing, membicarakan orang lain tapi membicarakan masa lalu. Aha, masa lalu lagi. Ini kali kedua saya mendengar hal ini. Lantas saya berpikir, jadi jika orang sudah senior, dengan usia tak lagi muda, tenaga yang tak lagi produktif jika bertemu akan berbicara tentang masa lalu. Masa yang telah lalu. Masa saat jaya di saat muda. Saling menanyakan kabar teman yang lama tak bersua. Teman yang telah pergi karena sudah dipanggil oleh Allah SWT, dan sebagainya. Sudah tak muda lagi membicarakan masa lalu, anak-anak membicarakan masa depan. Bertahun-tahun lalu saat masih kecil, sering juga saya berbicara tentang masa depan bersama dengan teman-teman saya. Menanti dengan tidak sabar akan datangnya masa depan. Sangat ingin tahu keadaan kami di masa datang. Tanpa disadari padahal masa itulah masa yang terindah dalam hidup saya. Masa kecil dan masa muda.  

Di rumah orang tua saya ada sebuah kamar kecil. Kamar kecil yang khusus disediakan untuk sholat. Di sinilah di ruang inilah saya tata lagi apa tujuan hidup saya. Bertahun-tahun lalu saat usia saya 5, 7, 9 tahun sama seperti usia anak-anak saya sekarang, saya juga duduk di sini. Setelah sholat menengadahkan tangan kecil saya, meminta banyak hal pada Yang Kuasa Allah SWT. Merenung kembali, menata kembali. Karena dari ruang inilah semua bermula. Dari ruang inilah saya mulai merancang cita-cita. Saya bersyukur dengan apa yang telah Allah anugerahkan kepada saya. Bertahun-tahun lalu saya merancang masa depan dengan tanpa pengalaman. Kini saya menata lagi masa depan dengan berbagai pengalaman yang telah saya dapatkan, pengalaman baik dan pengalaman buruk. Di ruangan yang sama. Saya sadari pengalaman baik membuat saya semakin bersemangat, pengalaman buruk kadang membuat langkah ini sedikit terganjal. Tapi hidup harus dijalani..anak-anak saya telah menyadarkan saya bahwa waktu memang tak pernah berputar kembali walau seberapa kuat kita ingin kembali. Tapi kami masih punya kesempatan untuk kembali muda. Ya nanti di surga nanti, tempat berkumpul kami yang kekal. Di dunia hanya tempat singgah untuk berkarya, berkarya dan terus berkarya... Sambil mempersiapkan generasi yang akan melanjutkan karya-karya kami sebagai orang tuanya. Masa lalu biarlah berlalu. Masa lalu yang indah akan selalu tersimpan di hati, menjadi penyemangat menghadapi masa depan. Kenangan buruk sudah lupakan, jangan biarkan terjadi kembali. Harus terus bergerak menebar kebaikan sampai akhir. Sampai menghadap Allah SWT dengan penuh kebanggaan. TAk ada pilihan lain. 

Jumat, 20 Desember 2013

M E N Y E T R I K A

Karena 2 hari asisten rumah tangga tidak datang, maka emaknya yg harus nyuci baju dan nyetrika. Saat nyetrika, Qia (7th) berkata.

Qia      : "Nda, Qia boleh nyetrika juga?"
Bunda : "Iya. Boleh. " (sambil terus menyetrika, dan terus mengambil baju untuk disetrika)
Qia      : "Nda, udah selesai belum?"
Bunda  : "Belum. Bentar lagi, yaa..." (sambil berkata dalam hati, sebenernya tidak suka dibantu nyetrika sama Qia)
Qia       : "Ayoo..Ndaa..Lama banget sihhh..?!"
Bunda  : "Iyaaa...(sambil cepet-cepat menyetrika baju besar-besar, dan menyisihkan baju kecil-kecil yang mungkin bisa disetrika Qia. Dan akhirnya cuma celana-celana pendek dan kaos-kaos punya adik laki-lakinya yg tersisa). Nih.."

Tidak suka dibantu Qia karena pasti akan jadi lama. Sudah tahu menyetrika itu menurutku pekerjaan rumah tangga yang paling menyebalkan, karena tidak bisa disambi dengan pekerjaan apa pun. Menyetrika itu pekerjaan yang harus fokus. Disambi jadi lama, tidak dilakukan pakaian kusut jadi menggunung.

Tapi inisiatif anak harus dihargai dan didukung. Dia dalam rangka belajar menyetrika, yang kelak dia juga harus melakukannya sendiri saat beranjak besar. Toh, dia kan juga tidak bisa dengan tiba-tiba bisa menyetrika.

Jangan harap anak saat usia SMP mau menyetrika jika inisiatifnya saat kecil tidak dianggap. Boro-boro mau menyetrika karena inisiatif, disuruh pasti sering gak maunya (walau gak semua anak begitu yaa).

Akhirnya yang diduga terjadilah. Banyak pertanyaan (ini gimana ngelipetnya, bagian bawah belum disetrika nih karena mejanya kesempitan gimana, dan banyak lagi), dan banyak bantuan dari ibunya (membantu menyetrika kok malah dibantuin? Mana harus ditungguin pula). Belum lagi kesalahan dalam memegang setrika dan arah menyetrika yang benar.

Qia      : "Udah selesai!" (sambil menaruh hasil setrikaannya yang terakhir. Tanda selesai setrika hari ini. Dan aku pura-pura puas dengan hasil setrikaannya, langsung menumpukkan baju hasil setrikaannya tersebut di tumpukan baju-baju lain yang sudah rapi. Padahal sebenernya dalam hati, benar-benar pengen menyetrikanya lagi. Tapi Alhamdulillah, tidak dilakukan.
Qia      : "Ternyata capek, yaa. Pegel, nihhh!" (dalam hati tertawa, hihihi!)

Akhirnya seperti yang harus terjadi, waktu menyetrika pun jadi bertambah 30 menit lebih lama. Waktu yang menurut ibu-ibu berharga untuk melakukan hal lain.Tapi semuanya butuh proses. Dan anak pun butuh penghargaan akan hasil kerjanya. Aku puas karena berhasil menahan diri untuk tidak melarangnya menyetrika dan tidak berkomentar negatif. Dan Qia puas karena hasrat dia untuk menyetrika terpenuhi dan dia bisa merasakannya sendiri enak dan tidaknya menyetrika:D.

Jumat, 14 September 2012

Rahasia Kecilku




Melihat Qia (6 tahun) dan Bagas (4 tahun) menirukan gaya merokok, ada rasa kuatir di dada.  Kaget juga sih, pertama kali melihat Bagas mengatakan, “Bunda, lihat Bagas merokok.” , sambil menjepit lintingan kertas dengan jari telunjuk dan jari tengahnya yang pura-pura jadi rokoknya. Hal ini sering Bagas lakukan, kemudian diikuti Qia tapi lebih sering dilakukan Bagas. Kadang jika sedang bermain berdua, mereka berpura-pura sedang merokok, ngobrol dan tertawa-tawa. Lintingan kertas jadi rokoknya dan barang kecil berbentuk kotak jadi koreknya.  Terkadang aku memarahi mereka. Menurutku itu perbuatan yang tidak patut dilakukan. Dan aku takut, mereka berpikir merokok adalah perbuatan yang baik-baik saja dilakukan. Aku tidak mau mereka jadi perokok. Tapi dasar anak-anak, berkali-kali aku ingatkan tetap saja mereka lakukan itu sesekali. 

Aku sadar, mereka berdua melakukan permainan berpura-pura merokok karena melihat lingkungan yang beberapa orang adalah perokok. Alhamdulillah, aku dan suami bukan perokok.  Anak-anak tahu apa, mereka hanya meniru. Kalau ada kesempatan, aku jelasin kepada mereka bahwa merokok adalah perbuatan yang sangat buruk dan tidak baik ditiru. Merokok adalah perbuatan yang menyakiti diri sendiri, karena merokok membuat orang yang merokok itu jadi sakit. Kadang bingung juga sih, kalau Qia bertanya kenapa salah seorang keluarga kami merokok, apakah mereka yang merokok sudah tahu kalau merokok itu perbuatan buruk. Aku jawab saja, mereka sudah tahu merokok itu perbuatan buruk. Dan Qia terus saja bertanya, “Kalau sudah tahu, kenapa terus merokok?” Lalu aku jawab, “Karena merokok bagi mereka sudah seperti kebutuhan. Jadi candu.” Kata Qia, “Candu itu apa, Bunda?”  Uahhh!!!

Setelah beberapa kali melihat keseharian mereka begitu, tiba-tiba aku teringat sebuah kejadian yang sangat lama. Kejadian yang aku yakin hanya aku dan Allah saja yang tahu. Yang dengan tulisan ini akan aku buka. Begini, dulu saat sekitar aku kelas 1 SD (umurku sekitar 7 tahun), setiap pulang sekolah aku selalu menyusul ke komplek kantor tempat orang tuaku bekerja. Sekolahku dekat dengan rumah, tapi kantor tempat orang tuaku bekerja agak jauh. Sekitar 1 km kurang. Saat itu orang tuaku yang sekantor itu pergi bekerja dengan berjalan kaki bersama dengan adikku yang saat itu duduk di bangku TK. Jadi TK adikku itu jauh. Nah tinggallah aku di sekolah di sekolah dari pukul 07.00 – 10.00 dengan dibekali kunci rumah. Karena ibuku tidak punya asisten rumah tangga, jadi saat aku pulang ke rumah tidak ada orang sama sekali. Adikku yang masih TK begitu pulang langsung dibawa kembali ke komplek orang tuaku bekerja. Orang tuaku bekerja dari pukul 07.00 – 14.00. Begitu pulang, aku buka rumah dengan kunci yang kubawa, ganti baju, kunci pintu rumah, dan langsung menyusul kedua orang tuaku ke komplek kantor tempat orang tuaku bekerja. Kadang aku pergi berjalan sendiri atau kadang aku berjalan bersama teman-teman yang merupakan anak-anak rekan kerja orang tuaku. Teman-temanku itu tinggal di komplek kantor orang tuaku bekerja, dan mereka bersekolah di sekolah yang sama denganku. Di sana aku berkeliaran di komplek tersebut dari sekitar pukul 10.30 – 14.00.

Setiba di komplek, aku langsung menuju ruangan Bapakku. Untuk setor muka bahwa aku telah datang dan tentu saja menyerahkan kunci rumah. Gedung kantor orang tuaku berlantai satu dan berbentuk huruf “U”. Bangunannya cukup sederhana, dengan tiap ruangan langsung menghadap lapangan untuk upacara. Jadi aku dapat dengan bebas keluar masuk ruangan Bapakku karena disamping pintu masuk yang langsung keluar ruangan, Bapakku juga menempati ruangan itu sendirian. Berbeda dengan Ibuku yang menempati ruangan bersama beberapa orang yang lain yang cukup banyak. Kadang aku masuk ke ruangan Bapakku saat beliau sedang sendirian, atau kadang Bapakku sedang bersama rekannya, atau kadang saat beliau sedang tidak ada dan ada di ruangan lain. Aku sering minum di gelas Bapakku saat beliau sedang ada di ruangan lain. Utuh maupun tidak utuh aku habiskan, hahaha! 

Kalau aku bosan bermain dengan teman-temanku selama menunggu, aku akan berlari mencari orang tuaku. Tentu saja yang pertama kali kucari adalah Bapakku. Kalau aku sedang beruntung, Bapak sudah sedikit bebas dengan tugasnya, aku bisa ngobrol dengan Bapak tentang keseharianku sambil mengamati ruangan Bapak yang bagiku saat itu seperti ruang laboratorium (tentu saja sambil memegang dan bertanya-tanya tentang alat-alat itu:D). Kalau Bapak tidak ada, aku berlari ke ruangan Ibu. Jika keduanya tidak ada di ruangan masing-masing, maka aku akan menunggu di luar ruangan di suatu tempat. Sambil mengamati rekan-rekan orang tuaku yang hilir mudik bekerja atau menghabiskan waktu kerja menunggu pukul 14.00. Hal ini sering aku lakukan. Dan yang tidak luput aku perhatikan adalah kebiasaan para rekan kerja orang tuaku, yaitu merokok. Memang yang merokok saat itu kebanyakan adalah para bapak. Alhamdulillah Bapak bukan seorang perokok, walaupun sempat merokok juga, tapi bisa berhenti total.
 
Banyak rekan kerja orang tuaku yang merokok. Bekerja sambil merokok, mengetik sambil merokok, keluar ruangan sambil membawa kertas pun sambil merokok, ngobrol merokok, di kantin pun merokok. Pendek kata segala hal yang sedang mereka kerjakan, rokok tidak lepas dari jari tangan mereka. Sampai-sampai saat itu aku berpikir, kayaknya merokok itu enak, ya. Ya, karena sering menjumpai orang merokok. Sampai-sampai aku ingin mencoba nikmatnya rokok. Nah-nah-nah!

Suatu waktu aku sedang menunggu di luar ruangan depan pintu ruangan Bapak. Seorang rekan kerja orang tua keluar dari pintu sebuah ruangan yang lain, dan membuang puntung rokok sembarangan ke halaman. Aku memperhatikan. Lalu aku hampiri puntung rokok itu. Puntung rokok itu masih berasap. Aku perhatikan sekeliling. Tiba-tiba aku ingin mencoba puntung rokok itu! Memang aku sering mengambil sampah puntung rokok, tapi benar saat itu aku tak berniat merokok. Tapi melihat puntung rokok berasap itu, aku jadi ingin mencobanya. Aku lihat kanan kiri, kulihat beberapa orang mondar-mandir di sekitarku. Aku tak mungkin mengambil puntung rokok berasap itu. Karena mereka pasti akan menegurku. Maka lebih baik aku urungkan niat itu sekarang. Lebih baik aku lakukan besok pagi saja sambil memikirkan tempat dimana aku akan melakukannya!

Esok paginya, setelah aku mendapatkan tempat yang tersembunyi dari lalu lalang orang maka aku duduk di depan ruangan kantor Bapak. Aku menunggu sampai ada seseorang yang membuang puntung rokok sembarangan. Tiap saat ada saja yang membuang puntung rokok yang masih berasap. Hingga tibalah saatnya. Ada seseorang yang membuang puntung rokok berasap, aku melihat sekitar. Tak ada orang, secepat kilat aku memungut puntung rokok itu dan langsung kusembunyikan dengan dua tangan, dan menuju ke tempat yang sudah kutentukan. Di tempat sepi itu aku lalu menjepit puntung rokok berasap dengan kedua jari telunjuk dan tengah dan kutujukan ke mulutku! Mulailah kuhisap rokok itu. Apa yang terjadi? Begitu asap mulai masuk ke mulutku, lalu langsung ke paru-paruku, aku terbatuk-batuk hebat. Aku lempar puntung rokok itu. Rasa tembakau yang menurutku saat itu adalah pedas begitu langsung memenuhi rongga tenggorokan dan paru-paruku. Aku betul-betul merasa tak enak akan keadaanku. Aku terbatuk-batuk selama beberapa saat untuk menghilangkan rasa-rasa tembakau yang menurutku sangat tidak sedap. 

Setelah keadaanku agak membaik, lalu aku berjalan masuk ke ruangan kerja Bapak. Aku ambil gelas minum milik Bapak yang ada sisa setengah gelas air dan meminumnya sampai habis. Aku tak mengatakan apa-apa kepada siapa pun. Karena kalau kukatakan, aku berpikir waktu itu pasti aku akan dimarahi. Rasa keingintahuanku terpenuhi sudah, bahwa rokok itu sungguh sangat tidak enak. Aku heran, kenapa para bapak-bapak itu gemar merokok. Apakah karena aku masih kecil, jadi menghisap rokok itu tidak bisa kunikmati. Entahlah. 

Sampai sekarang aku masih ingat merk rokok yang aku hisap itu. Bungkus rokok itu berwarna merah menyala:D (pasti semua dah pada tahu dehJ). Alhamdulillah, percobaanku tak membuat aku ingin mencoba lagi, dan lagi, dan lagi. Sekali saja sudah membuatku kapok. Sekarang aku juga bukan perokok dan tak suka dengan para perokok. Makannya, aku heran kenapa ada balita yang gemar merokok. Heran sekali. Kok bisa-bisanya mereka merokok? Bagaimana awalnya? Bukankah jika merokok pertama kali pasti mereka terbatuk-batuk hebat dengan mulut kecilnya? Padahal dulu saat aku mencoba menghisap rokok, itu sekaligus menjadi yang terakhir. Kalau sekarang kusimpulkan, karena balita itu sering melihat orang terdekat mereka begitu menikmati rokok. Maka tak heran, walaupun saat pertama kali balita itu terbatuk-batuk (saat mencoba rokok), mereka akan terus mencoba sampai terbiasa seperti orang terdekat mereka.

Aku belum pernah menceritakan kejadian ini kepada orang tuaku. Tapi kalau kuceritakan, aku belum tahu apa tanggapan orang tuaku sekarangJ. Sekarang aku kan sudah jadi orang tua dengan anak paling tua usia 6 tahun, setahun lebih muda daripada aku dulu. Tentu saja orang tuaku yang sudah menjadi kakek dan nenek itu tak akan memarahiku. Dan aku tak berniat untuk menceritakan kejadian ini kepada anak-anakku. Kuatir akan mereka tiru. (Wiwik Hidayati)

Kamis, 06 September 2012

Mudik Malam...



Dalam perjalanan mudik ke Tegal dari Bandung pada hari Selasa malam tanggal 21 Agustus 2012 kemarin, ada sesuatu teringat. Kejadian yang sudah lamaaa sekali. Mungkin saat itu aku belum sekolah. Belum masuk TK malah. Bagi orang lain, atau aku sendiri sebelum mudik terakhir mungkin terasa biasa aja. Tapi setelah mudik kali ini, menjadi sesuatu yang sangat berkesan.

Oya, sebelumnya kami pergi dari Ciparay Kabupaten Bandung, melewati Majalaya, Rancaekek, kemudian langsung tembus ke Cileunyi. Tak lama kemudian kami sampai ke Jatinangor Sumedang. Keluar dari Jatinangor, tiba di jalan yang berbelok dan mendaki mobil terhenti sekitar setengah jam. Sistem buka tutup diberlakukan entah karena apa. Setelah melewati sistem buka tutup, mungkin di sekitar Tanjung Sari mobil pun melaju tanpa halangan.

Melewati Cadas Pangeran yang melegenda, jalan yang berbelok dengan bukit di sisi kiri dan jurang di sisi kanan membuatku betul-betul merasa kembali. Jalan inilah yang dulu sering kulewati ketika masa-masa aku kuliah antara Bandung-Tegal. Kemudian mobil melewati jalan raya yang lebarnya sedang dan berbelok dengan di sisi kanan kiri rumah penduduk. Cukup panjang juga jalan ini. Sebelum memasuki kota Majalengka, masih di Sumedang  mobil melewati hutan yang cukup panjang. Tidak cukup lebat tapi banyak pepohonan. Jalanan gelap dan sepi sehingga mobil bisa melaju tanpa halangan berarti.

Dalam keremangan malam, ketika semua penumpang dalam mobil tertidur, kecuali supir pasti, aku memperhatikan jalanan. Tiba-tiba aku melihat, kenapa jarang aku lihat bus? Kebanyakan para pemudik malam ini menggunakan mobil pribadi. Pikiranku mulai melayang. Jauhhhh. Saat aku kecil kebanyakan para pemudik menggunakan bus, bukan mobil pribadi.

Saat kecil dulu aku juga mudik dari Tegal ke Sukabumi naik bus. Memilih malam daripada siang yang panas. Saat kecil dulu, malam-malam begini dalam bus aku juga tidak tidur. Tapi aku terbangun memperhatikan jalan, seperti saat ini. Saat itu, Ibu, Bapak, adikku tidur, sedangkan aku duduk di dekat jendela. Jadi saat itu aku dapat dengan bebas memperhatikan malam. Memperhatikan jalan-jalan yang kulewati saat ini yang sudah jauh berubah. Saat itu tentu saja jauh lebih sepi dan gelap. Dalam pikiranku yang saat itu masih kecil, suasana saat itu begitu mencekam dan mengerikan, dan untung saat itu aku dalam mobil bus yang hangat dan nyaman yang terus melaju.

Dalam pikiran masa lalu tersebut, tiba-tiba aku teringat sebuah kejadian. Kejadian yang menurutku luar biasa setelah aku mudik malam ini. Saat itu saat aku kecil entah saat itu aku sudah TK atau belum, aku lupa. Aku mudik bersama keluargaku dari Tegal menuju Sukabumi. Kampung halaman Bapakku. Ortu memilih perjalanan malam. Saat itu adalah saat-saat akhir Ramadhan. Aku tertidur selama dalam perjalanan.

Sampai di daerah Jawa Barat entah dimana, aku terbangun. Aku mendapati bus kami berhenti. Dan aku melihat Bapakku sedang makan nasi bungkus. Aku bingung, kok Bapak makan? Ketika kutanyakan, beliau menjawab sedang makan sahur. Aku melihat ke sekeliling. Penumpang yang lain juga sedang berkasak-kusuk sedang makan sahur. Semua penumpang berjaket, termasuk supir dan kondekturnya untuk menahan dingin. Melihat begitu nikmatnya Bapak makan, aku jadi ikut makan sahur dalam bus saat itu. Setelah beberapa lama, ada ribut-ribut di antara penumpang. Usut punya usut, ternyata supir busnya muntah-muntah. Supir busnya masuk angin. Waduh, waktu itu aku kepikiran gak bakalan sampai ke Sukabumi dehh..

Kami semua menunggu perkembangan. Semua penumpang duduk di kursinya masing-masing. Saat itu bus kami berhenti bukan di depan warung makan seperti bus-bus malam saat ini. Aku ingat betul, bus yang kami tumpangi adalah bus ekonomi biasa. Bukan bus kelas eksekutif. Keadaan di luar bus ramai tapi tidak terlalu ramai. Mungkin di luar banyak teman-teman dari supir dan kondektur bus yang kami tumpangi.  Tapi seingatku, kalau dibandingkan dengan sekarang cukup sepi. Aku perhatikan semua penumpang memakan bekal sahurnya yang dibawa dari rumah. Saat itu aku juga berhusnudzon (maklum masih kecil, dan semoga betul) bahwa semua penumpang termasuk kondektur dan supir bus yang kami tumpangi bersantap sahur. Masuk angin tidak menghalangi sang supir bus untuk tidak berpuasa. Dan karena seijin Allah-lah, entah lewat sang supir bus yang sedang sakit, atau memang supir memberi kesempatan kepada kami untuk bersantap sahur, bus berhenti. Setelah semua penumpang selesai bersantap sahur dan supir bus kami keadaannya membaik, Alhamdulillah kami dapat melanjutkan perjalanan. Aku dan keluargaku sampai ke Sukabumi dengan selamat.

Nah, menurutku kejadian itu sungguh begitu syahdu. Semua penumpang dengan penuh kesadarannya masing-masing menunaikan ibadah puasa Ramadhan. Semuanya terjadi dengan baik dengan sendirinya. Suasana Ramadhan sungguh sangat terasa dalam bus saat itu. Tanpa perlu diorganisir. Mungkin bus-bus malam sekarang akan berhenti di depan warung makan untuk memberi kesempatan para penumpangnya bersantap sahur. Tapi kita semua tidak akan tahu apakah semua penumpang memang perlu bersantap sahur atau tidak. Begitu juga supir dan kondektur.

Memang jaman aku kecil, mudik lebaran tidak seramai sekarang. Sekarang begitu ramai, sangat ramai. Para pemudik berbondong-bondong pulang kampung tanpa mempedulikan puasa mereka. Yang diperhatikan malah hal-hal lain. Misalnya bagi para pemudik bermotor, mereka menggunakan jaket yang sama. Atau mudik bareng teman-teman sekantor, seprofesi, dan lain-lain. Selama dalam perjalanan mereka saling berkomunikasi. Bergumul dalam hiruk pikuk kemacetan dan keramaian jalan raya.

Hilang sudah suasana Ramadhan selama mudik. Para pemudik dengan seenaknya makan, minum, merokok sembarangan. Tak jarang selama berkendara, para pemudik tak mengindahkan rambu-rambu. Menyerobot pun terasa biasa saja, L. Itulah sebabnya aku lebih memilih mudik setelah lebaran tahun ini, agar tak kehilangan suasana Ramadhan yang hanya setahun sekali.

Ketika mobil kami masuk Majalengka dan kami mulai menjumpai sekelompok pemudik bermotor berseragam, aku jadi berpikir. Lebih enak dulu, atau sekarang. Lebih baik dulu atau sekarang. Dulu mudik terjadi dengan baik karena kesadaran para pemudik sendiri. Pemerintah tidak terlalu repot jika menjelang masa mudik. Para pemudik lebih banyak menggunakan angkutan umum seperti bus atau kereta api.

Kalau sekarang, menjelang masa mudik, Pemerintah sibuk menyiapkan ini dan itu. Seperti infrastruktur jalan, posko kesehatan, tempat istirahat untuk kenyamanan para pemudik. Pendek kata, mudik jaman sekarang lebih terorganisir tapi kesadaran pemudik lebih rendah daripada dulu. Jadi kalau disuruh memilih, lebih baik mudik saat aku kecil atau sekarang, ya lebih baik mudik dengan kesadaran yang tinggi  pemudik dan dengan fasilitas seperti sekarang. (Wiwik Hidayati)

Kamis, 19 April 2012

Lebih Enak Dulu (dan Sekarang)



Menurutku, lebih enak dulu. Jaman belum ada teknologi secanggih sekarang. Jaman dulu, orang lebih bisa menepati janji. Hal-hal yang telah disepakati bersama beberapa hari, bulan, atau jam bisa dilakukan tepat waktu. Tidak bisa seperti sekarang, semuanya serba bisa cepat dibatalkan. Hal yang sudah direncanakan secara matang, dapat mudah dibatalkan dengan sms atau telepon.

Lebih enak dulu, anak-anak bisa bermain dengan bebas tanpa ada rasa kuatir diculik. Anak bebas keliling kampung, bermain di sawah atau kebun. Jaman saat tanah-tanah belum dipenuhi bangunan yang penuh sesak. Tak perlu mainan mahal seharga ratusan ribu rupiah atau bahkan jutaan. Semuanya sudah tersedia di lingkungan rumah. Dan itu cukup sekali memenuhi kebutuhan anak akan bermain. Dan yang enak, karena asyik bermain di luar rumah, rumah juga akan sering rapi. Orang tua tak perlu ‘teriak-teriak’ untuk membereskan mainan yang berserakan di dalam rumah. Paling-paling teriak untuk segera mandi, karena badan dan baju yang kotor karena lumpur:D.

Lebih enak dulu, tak ada games-games komputer atau hp atau gadget lainnya. Dulu anak bermain bersama karena memang saling membutuhkan. Anak bertemu kemudian memainkan permainan tradisional bersama . Kalau di daerah Jawa Tengah, ada permainan jamuran, benteng-bentengan, petak umpet, bersepeda keliling kampung dan lain-lain. Kalau sekarang, anak lebih suka main games di gadget yang tersedia di rumah. Kadang sering kesel juga melihat anak terus menerus depan komputer tanpa melakukan aktivitas fisik, tapi kalau disuruh main di luar rumah, kayaknya mereka bosen melakukan hal yang itu-itu saja seperti basket, bola, atau jalan-jalan/naik sepeda seputar komplek.....(heheheh ini sih pengalaman pribadi, padahal dulu masa kecil suka keluyuran).

Lebih enak dulu, jaman belum ada acara TV semeriah sekarang. Acara anak terbatas. Orang tua tak perlu mengatur jadwal nonton TV anak. Mau ngatur gimana? Lha wong, film kartun aja sehari Cuma sekali dan berlangsung Cuma setengah jam! Waktunya jam setengah 6 sore, jadi secara otomatis anak akan segera menyesuaikan diri untuk segera mandi dan aktivitas bersih-bersih lainnya. Dan yang lebih penting lagi, anak jadi banyak menghabiskan waktu untuk bermain, belajar, baca Qur’an setelah Magrib atau aktivitas yang lebih bermanfaat lainnya. Anak juga jadi tidur lebih cepat karena kelelahan dan malas nonton TV, karena sudah tidak ada lagi film kartun:D. Apalagi kalau dibandingkan dengan acara TV jaman sekarang, acara TV dulu memang membosankan untuk anak-anak.

Lebih enak dulu, jaman kurikulum sekolah tak serumit dan sesusah sekarang. Orang tua tak perlu pusing-pusing mengajarkan agar anaknya memahami pelajaran di sekolah. Atau bahkan memberikan les tambahan. Anak sekarang jadi harus sering belajar daripada bermain. Jaman sekarang kalau pun ingin bermain, daftarin aja anak ke kegiatan eskul sekolah. Tapi tentu saja ada biaya ekstra yang jauh lebih mahal. Atau anak disekolahin di sekolah yang menerapkan sistem belajar sambil bermain, itu juga perlu merogoh saku dalam-dalam. Jaman dulu, anak disekolahkan di sekolah negeri aja sudah cukup. Tidak perlu les, tidak perlu eskul. Karena lingkungan sudah menyediakan dan kurikulum juga mudah.

Lebih enak dulu, saat telepon masih menjadi barang mahal. Jaman dulu orang saling berkirim kabar lewat surat, atau kalau ada keperluan mendadak kirim lewat telegram. Orang jadi lebih tekun dalam mengekpresikan perasaan lewat tulisan. Tidak mudah meledak-ledak. Semuanya bisa disampaikan lewat tulisan. Kemudian yang lebih penting lagi adalah bersabar menunggu.

Tapi, jaman sudah berubah. Sekarang juga enak. Dengan segala berbagai kemudahan yang ditawarkan. Banyak hal yang dulu tak bisa dilakukan, sekarang dapat dengan mudah dilakukan. Dan yang lebih penting lagi, kita dituntut jadi orang tua cerdas. Kita harus pandai-pandai memutar otak, akal dan segala upaya agar semua nilai-nilai baik dapat diserap oleh anak-anak kita. Bagaimanapun, menurutku penyerapan nilai-nilai yang baik oleh anak paling mudah dilakukan dengan cara yang sudah dipaparkan di atas. Dan yang lebih penting lagi kita coba terapkan apa yang sudah dikatakan oleh Sahabat Nabi, Ali R.A. , ‘Didiklah anak sesuai dengan jamannya’.  Jaman anak kita, bukan jaman orang tua kita, atau jaman kita. Ini adalah jaman anak kita, yang kita sendiri tidak tahu seperti apa. So, kita ikuti tapi jangan lupa penyampaian nilai-nilai. Apalagi dengan berbagai kemudahan yang ditawarkan jaman sekarang, semua bukan tidak mungkin akan terwujud. Jadi, sekarang juga enak....