Kamis, 06 September 2012

Mudik Malam...



Dalam perjalanan mudik ke Tegal dari Bandung pada hari Selasa malam tanggal 21 Agustus 2012 kemarin, ada sesuatu teringat. Kejadian yang sudah lamaaa sekali. Mungkin saat itu aku belum sekolah. Belum masuk TK malah. Bagi orang lain, atau aku sendiri sebelum mudik terakhir mungkin terasa biasa aja. Tapi setelah mudik kali ini, menjadi sesuatu yang sangat berkesan.

Oya, sebelumnya kami pergi dari Ciparay Kabupaten Bandung, melewati Majalaya, Rancaekek, kemudian langsung tembus ke Cileunyi. Tak lama kemudian kami sampai ke Jatinangor Sumedang. Keluar dari Jatinangor, tiba di jalan yang berbelok dan mendaki mobil terhenti sekitar setengah jam. Sistem buka tutup diberlakukan entah karena apa. Setelah melewati sistem buka tutup, mungkin di sekitar Tanjung Sari mobil pun melaju tanpa halangan.

Melewati Cadas Pangeran yang melegenda, jalan yang berbelok dengan bukit di sisi kiri dan jurang di sisi kanan membuatku betul-betul merasa kembali. Jalan inilah yang dulu sering kulewati ketika masa-masa aku kuliah antara Bandung-Tegal. Kemudian mobil melewati jalan raya yang lebarnya sedang dan berbelok dengan di sisi kanan kiri rumah penduduk. Cukup panjang juga jalan ini. Sebelum memasuki kota Majalengka, masih di Sumedang  mobil melewati hutan yang cukup panjang. Tidak cukup lebat tapi banyak pepohonan. Jalanan gelap dan sepi sehingga mobil bisa melaju tanpa halangan berarti.

Dalam keremangan malam, ketika semua penumpang dalam mobil tertidur, kecuali supir pasti, aku memperhatikan jalanan. Tiba-tiba aku melihat, kenapa jarang aku lihat bus? Kebanyakan para pemudik malam ini menggunakan mobil pribadi. Pikiranku mulai melayang. Jauhhhh. Saat aku kecil kebanyakan para pemudik menggunakan bus, bukan mobil pribadi.

Saat kecil dulu aku juga mudik dari Tegal ke Sukabumi naik bus. Memilih malam daripada siang yang panas. Saat kecil dulu, malam-malam begini dalam bus aku juga tidak tidur. Tapi aku terbangun memperhatikan jalan, seperti saat ini. Saat itu, Ibu, Bapak, adikku tidur, sedangkan aku duduk di dekat jendela. Jadi saat itu aku dapat dengan bebas memperhatikan malam. Memperhatikan jalan-jalan yang kulewati saat ini yang sudah jauh berubah. Saat itu tentu saja jauh lebih sepi dan gelap. Dalam pikiranku yang saat itu masih kecil, suasana saat itu begitu mencekam dan mengerikan, dan untung saat itu aku dalam mobil bus yang hangat dan nyaman yang terus melaju.

Dalam pikiran masa lalu tersebut, tiba-tiba aku teringat sebuah kejadian. Kejadian yang menurutku luar biasa setelah aku mudik malam ini. Saat itu saat aku kecil entah saat itu aku sudah TK atau belum, aku lupa. Aku mudik bersama keluargaku dari Tegal menuju Sukabumi. Kampung halaman Bapakku. Ortu memilih perjalanan malam. Saat itu adalah saat-saat akhir Ramadhan. Aku tertidur selama dalam perjalanan.

Sampai di daerah Jawa Barat entah dimana, aku terbangun. Aku mendapati bus kami berhenti. Dan aku melihat Bapakku sedang makan nasi bungkus. Aku bingung, kok Bapak makan? Ketika kutanyakan, beliau menjawab sedang makan sahur. Aku melihat ke sekeliling. Penumpang yang lain juga sedang berkasak-kusuk sedang makan sahur. Semua penumpang berjaket, termasuk supir dan kondekturnya untuk menahan dingin. Melihat begitu nikmatnya Bapak makan, aku jadi ikut makan sahur dalam bus saat itu. Setelah beberapa lama, ada ribut-ribut di antara penumpang. Usut punya usut, ternyata supir busnya muntah-muntah. Supir busnya masuk angin. Waduh, waktu itu aku kepikiran gak bakalan sampai ke Sukabumi dehh..

Kami semua menunggu perkembangan. Semua penumpang duduk di kursinya masing-masing. Saat itu bus kami berhenti bukan di depan warung makan seperti bus-bus malam saat ini. Aku ingat betul, bus yang kami tumpangi adalah bus ekonomi biasa. Bukan bus kelas eksekutif. Keadaan di luar bus ramai tapi tidak terlalu ramai. Mungkin di luar banyak teman-teman dari supir dan kondektur bus yang kami tumpangi.  Tapi seingatku, kalau dibandingkan dengan sekarang cukup sepi. Aku perhatikan semua penumpang memakan bekal sahurnya yang dibawa dari rumah. Saat itu aku juga berhusnudzon (maklum masih kecil, dan semoga betul) bahwa semua penumpang termasuk kondektur dan supir bus yang kami tumpangi bersantap sahur. Masuk angin tidak menghalangi sang supir bus untuk tidak berpuasa. Dan karena seijin Allah-lah, entah lewat sang supir bus yang sedang sakit, atau memang supir memberi kesempatan kepada kami untuk bersantap sahur, bus berhenti. Setelah semua penumpang selesai bersantap sahur dan supir bus kami keadaannya membaik, Alhamdulillah kami dapat melanjutkan perjalanan. Aku dan keluargaku sampai ke Sukabumi dengan selamat.

Nah, menurutku kejadian itu sungguh begitu syahdu. Semua penumpang dengan penuh kesadarannya masing-masing menunaikan ibadah puasa Ramadhan. Semuanya terjadi dengan baik dengan sendirinya. Suasana Ramadhan sungguh sangat terasa dalam bus saat itu. Tanpa perlu diorganisir. Mungkin bus-bus malam sekarang akan berhenti di depan warung makan untuk memberi kesempatan para penumpangnya bersantap sahur. Tapi kita semua tidak akan tahu apakah semua penumpang memang perlu bersantap sahur atau tidak. Begitu juga supir dan kondektur.

Memang jaman aku kecil, mudik lebaran tidak seramai sekarang. Sekarang begitu ramai, sangat ramai. Para pemudik berbondong-bondong pulang kampung tanpa mempedulikan puasa mereka. Yang diperhatikan malah hal-hal lain. Misalnya bagi para pemudik bermotor, mereka menggunakan jaket yang sama. Atau mudik bareng teman-teman sekantor, seprofesi, dan lain-lain. Selama dalam perjalanan mereka saling berkomunikasi. Bergumul dalam hiruk pikuk kemacetan dan keramaian jalan raya.

Hilang sudah suasana Ramadhan selama mudik. Para pemudik dengan seenaknya makan, minum, merokok sembarangan. Tak jarang selama berkendara, para pemudik tak mengindahkan rambu-rambu. Menyerobot pun terasa biasa saja, L. Itulah sebabnya aku lebih memilih mudik setelah lebaran tahun ini, agar tak kehilangan suasana Ramadhan yang hanya setahun sekali.

Ketika mobil kami masuk Majalengka dan kami mulai menjumpai sekelompok pemudik bermotor berseragam, aku jadi berpikir. Lebih enak dulu, atau sekarang. Lebih baik dulu atau sekarang. Dulu mudik terjadi dengan baik karena kesadaran para pemudik sendiri. Pemerintah tidak terlalu repot jika menjelang masa mudik. Para pemudik lebih banyak menggunakan angkutan umum seperti bus atau kereta api.

Kalau sekarang, menjelang masa mudik, Pemerintah sibuk menyiapkan ini dan itu. Seperti infrastruktur jalan, posko kesehatan, tempat istirahat untuk kenyamanan para pemudik. Pendek kata, mudik jaman sekarang lebih terorganisir tapi kesadaran pemudik lebih rendah daripada dulu. Jadi kalau disuruh memilih, lebih baik mudik saat aku kecil atau sekarang, ya lebih baik mudik dengan kesadaran yang tinggi  pemudik dan dengan fasilitas seperti sekarang. (Wiwik Hidayati)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar