Perjalanan mudik tahun 2015 ini
bagi saya terasa sangat istimewa. Ada sesuatu yang sangat berbeda saya rasakan.
Memang ini seperti rutinitas tahunan hari raya Idul Fitri saat keluarga kecil
saya berkunjung ke rumah orang tua saya di Tegal sana. Seperti menyusuri lorong waktu masa lalu tapi
tak pernah sampai tujuan. Menjadi
anak-anak kemudian menjadi dewasa menjadi anak-anak lagi, dan menjadi dewasa
lagi begitu seterusnya. Saya tak melihat orang lain. Saya melihat diri saya
sendiri sebagai tokoh utamanya. Biasanya ini tak pernah terjadi. Atau mungkin ini terjadi karena dua anak saya
memasuki usia SD kelas 4 dan kelas 1. Yang saat usia itu saya sedang
asyik-asyiknya bermain dengan teman-teman. Atau mungkin lagi karena beberapa
tahun lagi saya akan memasuki usia 40 tahun? Entahlah saya tak tahu pastinya.
Pernah menyaksikan film dengan adegan seseorang yang sudah dewasa atau
tua tiba-tiba memasuki lorong waktu yang buram dan sampai pada suatu masa dia
masih anak-anak atau muda? Atau pernahkah Anda menyaksikan film Titanic yang
mengetengahkan adegan seorang tokoh bernama Rose DeWitt Bukater yang sudah tua
memegang cermin yang baru ditemukan dari dalam samudra? Saat itu Rose berharap
melihat wajahnya yang cantik jelita, muda, segar yang terpantul dari dalam
cermin (karena itu memang cerminnya yang biasa digunakan saat ia masih muda).
Tapi saat dia melihat ke dalam cermin, yang terpantul adalah wajahnya yang
sudah sangat tua dan keriput. Dan dia merasa silau dengan kenyataan yang ada. Nah
inilah yang saya rasakan.
Saat saya masuk ke kamar saya
yang sekarang kamar itu sudah ditempati oleh keponakan saya, saya terdiam duduk
sejenak. Ah, ya...kamar inilah yang ikut memberikan andil dalam hidup saya.
Tempat istirahat saya saat saya lelah belajar dan bermain. Tempat istirahat
saya dari anak-anak hingga lulus SMA. Tempat menyimpan rahasia-rahasia kecil
saya. Sesaat saya melihat adegan masa lalu pada suatu pagi Minggu di tahun
1991. Bapak masuk ke dalam kamar dan mendapati saya sedang belajar di balik
pintu kamar. Menengok apa yang saya sedang saya lakukan dan menawarkan jajanan
pasar yang baru dibeli di pasar. Saya ingat sekali saat itu adalah minggu ujian
akhir semester pertama SMP dan saat itu saya duduk di kelas 7. Besok seninnya
adalah hari pertama ujian saya. Agaknya saya terlena dan membiarkan masa lalu membawa
saya. Saya membaringkan badan saya. Dan terbangun mendapati diri saya yang
sekarang. Ada rasa sedih sekilas datang.
Di ruang tengah ada meja makan
dan TV. Tata letaknya masih persis sama sejak 30 tahun yang lalu! Di tahun 1985
saat kami pindah ke rumah ini. Saat saya duduk di meja makan sambil menonton TV,
sambil melihat anak saya dan keponakan saya bermain, saya melihat lagi. Ya,
inilah kursi yang menopang tubuh kecil saya. Saya masih bisa merasakan kaki saya belum
menjejak ke lantai. Sambil disisir rambut saya oleh Ibu atau Bapak, saya
sarapan sebelum pergi sekolah. Saat itu saya duduk di SD kelas 1 sampai 4.
Duduk di meja makan sambil memandang ke luar jendela, memandang kebun bambu dan
kebun singkong yang luas terhampar. Saya hampiri lemari bufet. Saya buka
lacinya. Masih tersimpan baik kaset-kaset pita. Kaset yang sering saya putar
dulu saat masih SD. Dari kaset sanggar cerita, kaset lagu-lagu, bahkan kaset
Bapak dan Ibu saya saat seusia saya sekarang. Membuka kaset ini seperti melihat
tangan kecil saya lincah membuka, menutup, melipat kertas kaset. Di ruang ini
saya menemukan radio saya juga lho. Radio yang menemani saya belajar saat duduk
di kelas 4,5 SD. Saat itu saya mengikuti sandiwara radio Nini Pelet.
Setiap tahun saya selalu
menyempatkan diri silaturahim dengan tetangga saya. Teman masa kecil saya.
Melihat mereka sama juga keadaannya seperti saya. Tidak ada yang menduga, bahwa
kami bisa sampai hingga saat ini. Memang ada beberapa teman kecil saya
meninggal karena sakit. Mereka tidak sampai hingga saat ini. Asyik sekali saat
itu kami bermain. Berlari, bermain petak umpet, bermain sondakh, lompat tali,
sesekali nonton TV bareng (karena saat itu kesempatan nonton kartun hanya sore
hari). Ketika bertemu teman-teman kecil inilah, hilang semua embel-embel di
depan nama. Kalau di Bandung saya selalu dipanggil Bu Wiwik, Teh Wiwik, Bu
Ganjar, Mamah Qia, atau Mamah Bagas, atau Mamah Akmal. Di kampung halaman inilah
saya dipanggil Wiwi saja. Walaupun yang memanggil saya statusnya juga sudah
menjadi ibu-ibu seperti saya juga. Asyik sekali seperti waktu itu kembali. Ah,
ya beberapa teman yang laki-laki juga menjadi pengurus desa seperti carik, atau
ketua RT. Ada juga dua orang bapak muda yang menyapa saya, “Sinten nggeh
(siapa, ya)? Wiwi?”, atau “Hei wong Bandung, lagi neng kene (Hai orang Bandung,
lagi di sini)?” . Hahaha, yang seorang adalah orang yang sering melatih voli
dekat rumah, dan yang satunya mungkin pernah membantu mengurus ktp kepindahan
saya. Senangnya seperti masih diakui di kampung halaman saya walaupun secara
resmi bukan orang sini lagi.
Saat berjalan-jalan bersama adik
saya, kami melewati sebuah rumah. Iseng saya bertanya, siapa yang menempati
rumah itu sekarang. Karena saya tahu pemilik rumah itu sudah meninggal. Adik
saya menyebut sebuah nama yang masih saya kenal. Nama seorang anak dari pemilik
rumah itu dulu. Rumah itu adalah rumah salah satu teman orang tua saya. Dulu
saat lebaran jika kami tidak mudik, kami mengunjungi rumah itu. Pemilik rumah
itu seperti dituakan oleh orang tua saya. Sering jika senggang siang, sore,
atau malam Bapak atau Ibu berkunjung ke rumah itu untuk ngobrol. Saya juga
kenal dengan anak-anaknya yang seumur saya. Saat itu rumahnya begitu ramai karena
anaknya banyak. Dan begitu asri dengan macam-macam tanaman. Kini saya lihat
rumah itu seperti gersang. Entah karena efek musim kemarau atau memang sengaja
dibiarkan kurang terawat. Menurut info dari adik saya, sengaja rumah itu
ditempati oleh Else (orang yang menempati rumah itu) beserta keluarganya yaitu
suami dan tiga anaknya. Agar rumah itu tetap menjadi tempat kembali saat mudik
kakak-kakak dan adik-adiknya. Agar tetap ada tempat kembali seperti dulu. Ahh,
saya jadi agak sedih. Ini adalah kekhawatiran saya di masa akan datang. Saat
ini saya masih mempunyai orang tua lengkap. Akankah keadaan saya akan seperti
itu? Mudik dan tak menjumpai orang tua saya. Hanya mengunjungi makamnya. Dan di
rumah orang tua saya, adik saya menunggu. Belum lagi keadaan saya yang hanya
dua bersaudara. Padahal di kampung halaman itulah benar-benar saya dibesarkan.
Benar-benar merasakan nikmatnya menjadi seorang anak. Sampai saat itu pernah saya
berpikir, saya tak ingin menjadi dewasa. Atau berdoa, biarlah jalan kedewasaan
itu berlangsung lama dan tak pernah sampai.
Saya juga menyempatkan diri untuk
bersepeda keliling kampung. Niatnya hanya sebentar, tapi tak disangka kami
yaitu saya, suami, 4 anak menghabiskan waktu sekitar 3 jam untuk mengitari
jalan kelas 2 atau 3 di dua kecamatan ! Asyik sekali kami saat itu, mengitari
kebun tebu dan ngebut sekencang-kencangnya di jalanan aspal yang sepi. Saat
itulah saya benar-benar merasakan. Tiba-tiba saya merasakan saya menjadi gadis
kecil kembali! Gadis berkepang dua yang memakai baju terusan biru dengan pita
pinggang yang diikat ke belakang. Menjadi bak petualang cilik seperti
petualangan Lima Sekawan Julian, Dick, George, Anne dan Timmy yang senang
melancong dengan sepeda. Seandainya...seandainya keponakan saya yang berada di
boncengan saya tak memanggil saya, “Budeee!” rasanya saya akan lebih lama
menjadi diri saya yang dulu. Diri saya puluhan tahun yang telah lalu. Keponakan
saya telah menyadarkan saya, begitu juga anak-anak saya dengan teriakan
senangnya..,”Bundaaa!!”
Saat mudik kemarin saya juga
bersilaturahim dengan salah satu teman SMP saya. Di sana saya juga bertemu
dengan orang tua teman saya. Orang tua teman saya sama halnya dengan orang tua
saya juga telah memasuki masa pensiun. Teringat 20 tahun silam, bapak teman
saya ini seorang yang gagah. Tapi waktu telah membawanya menjadi seorang kakek
bercucu. Sama halnya dengan bapak saya. Waktu juga telah membawa saya seperti
sosok seseorang setengah baya seperti Bapak saya 20 tahun yang lalu. Sekarang
saya adalah seorang ibu seperti orang tua saya 20 tahun yang lalu. Saat
berkunjung, teman saya sempat bercerita. Bahwa beberapa hari lalu hp bapak
teman saya sempat tertinggal di sebuah toko. Diceritakannya betapa panik
bapaknya saat menyadari hp ada tidak ada di tangannya. Bukan masalah harga hp,
tapi masalah nomor-nomor kontak teman-temannya yang tersimpan di sana.
Teman-teman masa mudanya dulu yang sekarang juga sama-sama telah pensiun.
Alhamdulillah akhirnya hp itu diketemukan kembali. Saya juga bertanya mengenai
kegiatan bapak teman saya tersebut. Teman saya bilang, bapaknya sering
menelepon teman-temannya. Saling mengobrol tentang kegiatan sekarang atau
berbicara masa yang telah lalu. Sesaat saya terdiam. Masa lalu?
Esok harinya, datanglah sepasang
suami istri ke rumah orang tua saya. Teman kerja orang tua saya saat berdinas
dulu. Teman yang sudah sama-sama pensiun. Ibu saya mengatakan dua temannya ini
sering sekali berlama-lama saat berkunjung. Rekor terlamanya dari jam 9 pagi
sampai jam 5 sore ! Kaget juga saya. Lalu saya bertanya apa yang dilakukannya
selama itu di rumah orang tua saya. Ibu saya hanya menjawab mengobrol. Bukan
bergunjing, membicarakan orang lain tapi membicarakan masa lalu. Aha, masa lalu
lagi. Ini kali kedua saya mendengar hal ini. Lantas saya berpikir, jadi jika
orang sudah senior, dengan usia tak lagi muda, tenaga yang tak lagi produktif
jika bertemu akan berbicara tentang masa lalu. Masa yang telah lalu. Masa saat
jaya di saat muda. Saling menanyakan kabar teman yang lama tak bersua. Teman
yang telah pergi karena sudah dipanggil oleh Allah SWT, dan sebagainya. Sudah
tak muda lagi membicarakan masa lalu, anak-anak membicarakan masa depan. Bertahun-tahun
lalu saat masih kecil, sering juga saya berbicara tentang masa depan bersama
dengan teman-teman saya. Menanti dengan tidak sabar akan datangnya masa depan.
Sangat ingin tahu keadaan kami di masa datang. Tanpa disadari padahal masa
itulah masa yang terindah dalam hidup saya. Masa kecil dan masa muda.
Di rumah orang tua saya ada sebuah kamar kecil. Kamar
kecil yang khusus disediakan untuk sholat. Di sinilah di ruang inilah saya tata
lagi apa tujuan hidup saya. Bertahun-tahun lalu saat usia saya 5, 7, 9 tahun
sama seperti usia anak-anak saya sekarang, saya juga duduk di sini. Setelah
sholat menengadahkan tangan kecil saya, meminta banyak hal pada Yang Kuasa
Allah SWT. Merenung kembali, menata kembali. Karena dari ruang inilah semua
bermula. Dari ruang inilah saya mulai merancang cita-cita. Saya bersyukur
dengan apa yang telah Allah anugerahkan kepada saya. Bertahun-tahun lalu saya
merancang masa depan dengan tanpa pengalaman. Kini saya menata lagi masa depan
dengan berbagai pengalaman yang telah saya dapatkan, pengalaman baik dan
pengalaman buruk. Di ruangan yang sama. Saya sadari pengalaman baik membuat saya semakin bersemangat,
pengalaman buruk kadang membuat langkah ini sedikit terganjal. Tapi hidup harus
dijalani..anak-anak saya telah menyadarkan saya bahwa waktu memang tak pernah
berputar kembali walau seberapa kuat kita ingin kembali. Tapi kami masih punya
kesempatan untuk kembali muda. Ya nanti di surga nanti, tempat berkumpul kami
yang kekal. Di dunia hanya tempat singgah untuk berkarya, berkarya dan terus
berkarya... Sambil mempersiapkan generasi yang akan melanjutkan karya-karya
kami sebagai orang tuanya. Masa lalu biarlah berlalu. Masa lalu yang indah akan
selalu tersimpan di hati, menjadi penyemangat menghadapi masa depan. Kenangan
buruk sudah lupakan, jangan biarkan terjadi kembali. Harus terus bergerak
menebar kebaikan sampai akhir. Sampai menghadap Allah SWT dengan penuh kebanggaan. TAk ada pilihan lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar